Sabtu, Februari 07, 2009

Puisi dan Profil Singkat Seniman

AM Mochtar, lahir di sebuah desa kecil Desa Marioriwawo, Kabupaten Bone, 17 Agustus 1940. Budayawan dan penyair yang serba bisa ini dikenal juga sebagai seorang pengusaha, jurnalis, aktor, sutradara, serta penulis naskah drama, sinetron, dan film. Puluhan karya drama dan sinetron lahir di tangannya, baik yang ditampilkan di tivi lokal maupun tivi nasional. Kini sibuk mendampingi Gubernur Sulsel H. Syahrul Yasin Limpo sebagai salah satu staf ahli bidang kebudayaan dan pariwisata ***


Moyangku Bugis*)

karya: A.M Mochtar

Bukan karena lidah aku bicara
Bukan karena puisi ini tumpanganku
Arungi Samudra

Telah kujejakkan kaki lelaki
di tanah batu
kutebarkan benih seorang khalifah
bukan karena badik ukirkan nasib
di ujung pamor sejarah

Adalah moyangku bugis
warisan jiwaku
ombak

------------------------

Rindu

karya: A.M Mochtar

Angin lincah laut teduh
Ombak berombak membawa pusaran
telah lampau

Kutatap langit merangkai biru
atas batu batu karang
yang sembunyikan namamu
saat kutinggalkan tanah bugis

Angin lincah laut teduh
Aku berlari mengembara
lintasi tanah batu
dan pulau-pulau tak bernama

Kuingat air mata yang tertegun
dan senyummu lewat malu yang manis
Kurasakan pedih rahasia hati
entah kapan aku kembali

*)Terangkum dalam Buku Antologi Moyangku Bugis (1999) 6 penyair Sulsel.

AM Mochtar, lahir di sebuah desa kecil Desa Marioriwawo, Kabupaten Bone, 17 Agustus 1940. Budayawan dan penyair yang serba bisa ini dikenal juga sebagai seorang pengusaha, jurnalis, aktor, sutradara, serta penulis naskah drama, sinetron, dan film. Puluhan karya drama dan sinetron lahir di tangannya, baik yang ditampilkan di tivi lokal maupun tivi nasional. Kini sibuk mendampingi Gubernur Sulsel H. Syahrul Yasin Limpo sebagai salah satu staf ahli bidang kebudayaan dan pariwisata ***

----------------------------------------------------

Masih Adakah Indonesia Lain*)

karya: Udhin Palisuri

(Kepada Thamrin Ely)
Masih adakah Indonesia lain
Diliputi suasana damai
Dari pada berdiri disini
Diancam kematian setiap waktu

Masih adakah Indonesia lain
Penuh senda gurau
Daripada harus disini
Wajah takut diamuk kekerasan

Masih adakah Indonesia lain
Mengenang jasa pahlawan
Dari pada merunduk wajah disini
Memandang merah putih menangis

Masih adakah Indonesia lain
Mengutamakan kedaulatan rakyat
Daripada berada disini
Mulut menganga menuntut keadilan

Masih adakah Indonesia lain
Melaksanakan supermasi hukum
Dari pada tetap disini
Jaksa dan pengacara saling memaki

Masih adakah Indonesia lain
Yang menghargai rasa aman ?
Kujawab : Ya !
Disini, di kota metro makassar

-----------------------------------------

Puisi Kini Tumbuh Sendiri
(Kepada : H. Muhammad Jurlan)

karya: Udhin Palisuri

Puisi tumbuh sendiri
Bagai cendawan di atas batu
Kelopak daun berbunga kata
Menyulam setangkai arti

Puisi tumbuh sendiri
Mengejar inspirasi
Pusaran krisis bangsa
Untuk politisi

Puisi tumbuh sendiri
Dukacita tanah air
Kusaksikan darah mengalir
Membasahi ruang kemerdekaan

Puisi tumbuh sendiri
Bicara tentang keadilan
Perut negeri ditikam kekerasan
Mimpi sengsara mengalir air mata

Puisimu
Puisiku
Puisi kita.

*) Dikutip dari buku kumpulan puisi “Bulan Pagi Hari” (puisi orang Makassar) karya Udhin Palisuri.

Udhin Palisuri, penyair yang lahir di bumi Massengrempulu (Enrekang) tanggal 16 Agustus 1948 ini juga dikenal sebagai seorang jurnalis, teaterawan, dan esais yang karya-karya banyak dipublikasikan di media Pedoman Rakyat, Fajar, Sinar Harapan, Harian Operasi, dan lainnya. Dia juga dikenal paling produktif menerbitkan buku kumpulan puisinya, tercatat di antaranya Sekuntum Kembang Reformasi, Puisi Kantong Semen, Puisi Bom Makassar, dan Gorontalo Aku Sayang Padamu ***

----------------------------------------------

Negeri Bugis Tersenyum Manis

karya: Jurlan Em Saho’as

Negeri Bugis
Tersenyum manis
Selalu tertulis
Dalam hati yang tulus
Negeri Bugis
Tersenyum manis
Selalu memiliha
Pemimpin berhati kasih
Tak pernah mungkir
Dari perinstah Allah Ta’ala
Negeri Bugis
Selalu di hati
Ditulis dalam kitab Lontara
Tak pernah hianat
Bila diberi amanah

Palopo, 8 Pebruari 2007

--------------------------------------

Negeri Air Mata

karya: Jurlan Em Saho’as

Negeriku kini jadi negeri air mata
Negeri yang tidak kuasa lagi menampung jutaan rakyatnya yang sabang hari berdiri
di depan istana raja-raja dengan perut lapar.
Negeri yang tidak mampu lagi mendengar ribuan rakyatnya yang pedih menyaksikan
rumahnya digulung ombak, disapu angin, dikubur lumpur.
Negeri yang tidak peka lagi dengan maling yang lalu lalang di depan petugas dan
bermain mata dengan hakim.
Negeri yang tidak memiliki keberanian menindas para penjudi yang dengan lihainya memainkan harga di kantor-kantor pemerintahan dan pasar.
Negeriku kini jadi negeri air mata
Negeri yang sepanjang waktu dihujani air mata pilu dari jutaan rakyat yang dibayar murah keringatnya, yang rumahnya kena gusur, yang orang tuanya kena busur, yang putra-putrinya jadi pelacur, yang anak-anaknya mati kelebihan dosis Narkoba.

Negeriku kini jadi negeri air mata
Negeri yang sepanjang waktu ditimpa bencana
Darah mengalir terus
Dan tak terbilang nyawa melayang
Dihempas air bah, diseret longsor, direndam lahar, karang di laut dan hilang tak berbekas di tengah hutan belantara.

Negeriku kini jadi negeri air mata
Negeri yang penuh makian, caci maki dan hujatan
Tiada lagi tempat berlabuh menghapus luka lama untuk saling memaafkan
Padahal penguasa yang dzalim akan selalu mengundang bencana dan kemalangan
Sedang rakyat yang selalu memusuhi pemerintahnya tak akan pernah dapat melihat matahari melintas di hatinya.

Makssar, 3 Januari 2007

Jurlan Em Saho’as, Lahir di Makassar 17 Januari 1964, penyair yang juga jurnalis ini, selain menulis puisi juga menulis cerpen, esai, dan drama. Karyanya pernah dimuat di Harian Kompas, Pelita, Mitra Remaja, Gadis, Fajar, Mimbar Karya, Tegas, dan Pedoman Rakyat. Bersama AM Mochtar, Aliem Prasasti menerbitkan Antologi Moyangku Bugis (1999), lainnya terangkum dalam Buku Antologi Ombak Makassar, Temu Sastrawan Nusantara dan buku esainya Cendekiawan dan Penguasa diterbitkan Elsas Jakarta (2007) ***

------------------------------------------------

Kukirim Cinta Setiap Malam Untukmu
Kepada Ny Sally Siswadi SDL

karya: Ahmadi Haruna

Setiap malam kukirim cinta untukmu
Aku yakin kau tak tahu
Karena cinta memang pelik ditangkap

Setiap malam kau tak merasa
Karena rindu kita telah terlindung tirai tebal

Enam tahun sudah kandaku
Kau mengembara ke negeri Tuhan
SKU Tegas pun merangkak ke usia 42
Berat memikulnya
Pedas dirangkul
Namun amanahmu terlanjur kucincing dihatiku
Kamipun menerobos tantangan

Hari ini
Kami laksanakan kenduri untukmu
Bukti cinta masih bermain-main di ubun-ubunku
Masih bertengger di pundakmu

Tengah malam 16 januari 2009

------------------------------------------


Kepada Wartawan*)

karya: Ahmadi Haruna

Jangan cincang aku sahabat
Karena kita telah berkawan
Menulislah dengan fakta
Jangan karena benci
Sebab segalanya akan rapuh

sahabat
Mari bersama membangun
Bersama berpikir
Demi warga Turatea
Demi Jeneponto kedepan

Mari singkirkan lengan baju
Mari bahu membahu
Menulislah dengan konstruktif
Akupun siap bekerja dengan apik

Makassar, 2007

*)Disalin dari buku kumpulan puisi “Kana Tojeng” buat H radjamilo, MP-H Burhanuddin, MM

Ahmadi Haruna, lahir di Pare-pare tahun 1960. Anak keempat dari dua belas bersaudara dari pasangan Haruna dan Haniah Dg Baji. Sejak kecil hobby menulis puisi dan naskah drama karya-karyanya banyak dimuat di koran lokal maupun nasional. Kumpulan puisinya yang telah diluncurkan di antaranya Baruga, Ombak Makassar, Kepada Amiruddin Maula dan Harta Sanjaya, dan beberapa buku biografi, Azikin Solthan “Matahari Bantaeng”, Soetomo “Beri Aku Waktu”, dan Suhardi Duka “Dari Wakil Rakyat ke Bupati Rakyat”

3 komentar:

  1. Syukur para wartawan dan organisasinya punya koran. Mungkin pertama kali, PWI cabang memiliki media sendiri. Koran ini bakal maju, karena didukung oleh para wartawan pilihan. Pesan saya, karena pengasuhnya adalah dedengkot wartawan, jangan sampai terbitnya megap-megap. Koran kalau sudah hadir, harus hadir terus. Ini sangat bagus untuk media pendidikan kejurnalistikan. Makanya, pengasuhnya harus banyak belajar membaca buku jurnalistik yang kemudian dijadikan kekuatan teoretis dalam pelaksanaan praktis. UU Pokok Pers, Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) harus jadi muatan rutin di media ini. Termasuk bagaimana wartawan harus bertingkah dalam meliput. Banyak teluhan dari pejabat di daerah masuk kepada saya perihal ulah segelintir oknum wartawan, sampai-sampai mereka minta saya menjelaskan kiat menghadapi wartawan.
    Wassalam
    M.Dahlan Abubakar

    BalasHapus
  2. Maju trus ......sy sangat suka berita di blog ini banyak insfirasi ta' ada kata yg patut diucapkan selain salut...

    BalasHapus