Sabtu, Februari 07, 2009

Undang-Undang Pers (UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers)

Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. 

Pantai Bira Bukan Sekadar Pantai

Bali boleh punya banyak pantai berpasir putih. Bali pun boleh senang karena pantai yang mereka miliki banyak pengunjungnya. Namun, kalau mau jujur, Bali harus mengakui kelebihan Pantai Bira, di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Pantai Bira bukan hanya berpasir putih, melainkan juga karena pasirnya sejuk meskipun matahari tengah bersinar terang di siang bolong. (int)

Nasib Naas Menimpa Wartawan Srilanka

Nasib Naas Menimpa Wartawan Srilanka

Memasuki tahun 2009, nasib naas menimpa wartawan di Srilanka. Sedikitnya telah terjadi dua insiden tergadap wartawan di negara tersebut.
Upali Thenakoon, salah seorang redaktur dari surat kabar mingguan Rivira yang berbahasa Sinhala, ditikam diwajah dan kemudian diserang oleh satu kelompok penyerang yang naik sepeda motor pada saat dia berangkat kerja, Jumat, 23 Januari 2009. Isterinya juga mengalami cedera ketika dia berusaha melindungi sang suami.
Serangan yang sama berupa pembunuhan juga terjadi dua pekan sebelumnya terhadap pemimpin redaksi Sunday, Lasantha Wickramatunga, yang juga dicegat dalam perjalanan ke tempat kerjanya oleh orang-orang yang mengendarai sepeda motor.
Pembunuhan itu terjadi hanya beberapa hari setelah orang-orang bersenjata merusak studio utama MBC, radio swasta terbesar di Srilangka.
Media di Srilanka mengemukakan bahwa Srilangka mempunyai sejarah panjang aksi kekerasan terhadap para wartawan, dan para penyerangnya jarang diseret ke pengadilan.
Kendati demikian, Presiden Srilangka Mahinda Rajapaksa telah berjanji sejak pembunuhan Wickramatunga, untuk mengubah hal itu dan para tersangka telah ditahan dalam kasus MBC.

AS “Terkejut”

Amerika Serikat (AS) mengata-kan, pihaknya “dikejutkan” oleh aksi kekerasan terhadap wartawan di Srilangka tersebut (kasus penikaman terhadap redaktur surat kabar mingguan Rivira).
“AS dikejutkan oleh berlangsungnya serangan-serangan fisik dan ancaman terhadap insan pers di Srilangka,” kata penjabat juru bicara Deplu AS, Robert Wood, dalam pernyatannya.
“Ini adalah laporan serius yang bisa menyebabkan memburuknya kondisi kebebasan media di Srilangka,” ujarnya.
Deplu AS menyeru pemerintah Srilangka untuk melindungi seluruh warganya dengan menegakkan hukum dan peraturan, mencegah terjadinya intimidasi terhadap media, serta bertindak cepat melakukan penyelidikan berkaitan serangan-serangan terhadap para wartawan dan penduduk sipil lain. (ant)

Wartawan Radio Ditembak Mati di Filipina

Wartawan Radio Ditembak Mati di Filipina

Filipina adalah salah satu dari tempat-tempat paling berbahaya di dunia bagi wartawan. Berdasarkan catatan Perhimpunan Wartawan Nasional di Filipina, lima wartawan dibunuh pada tahun 2008, dan tercatat 59 wartawan tewas sejak tahun 2001.
Peristiwa terbaru terjadi pada minggu ketiga Januari 2009. Polisi setempat melaporkan, dua pria bersenjata menembak mati seorang komentator radio di Filipina selatan. Ini adalah kasus kematian pertama wartawan di negara tersebut tahun ini.
Badrodin Abbas diserang dua penumpang Rabu malam, 21 Januari 2009, ketika ia naik sebuah minibus yang biasanya dioperasikan oleh saudaranya.
“Kami masih berusaha menyelidiki apakah pembunuhan itu ada kaitannya dengan pekerjaannya sebagai wartawan,” kata Willie Dangane, kepala kepolisian di Kota Cotabato di pulau Mindanao, Filipina selatan.
Dia mengatakan bahwa pihak kepolisian mendengar adanya rumor bahwa saudara kandung Badorin Abbas sebelumnya menerima ancaman pembunuhan.
Seorang Muslim, Abbas mengguna-kan program radionya untuk mempro-mosi satu perjanjian wilayah yang diusulkan antara Manila dan gerilyawan Moro yang berjuang untuk mendirikan sebuah negara selama 40 tahun.
Satuan tugas pemerintah yang menyelidiki pembunuhan-pembunuhan terhadap wartawan mengecam pembunuhan komentator radio itu.
Oleh karena dikecam kelompok-kelompok hak asasi manusia lokal dan internasional, pemerintah Filipina berikrar untuk mengejar dan menangkap para pembunuh wartawan, namun sejauh ini hanya sedikit yang dihukum. (ant/rtr)

Obama Sapa Wartawan di Media Centre

Obama Sapa Wartawan di Media Centre

Pada hari kedua berkantor di Gedung Putih, Presiden Amerika Serikat (AS), Barack Obama, melakukan kunjungan mendadak ke area kerja sayap barat Gedung Putih.
“Senang melihat kalian. Saya cuma ingin mengucapkan ‘halo’,” kata Obama kepada para wartawan.
Obama lalu menuju ruang media, tempat kerja wartawan yang nge-pos di Gedung Putih. Para wartawan mulai berlarian ke arah Obama, khawatir kalau-kalau ketinggalan perkataan Obama walaupun hanya satu kata.
Satu wartawan yang terlambat mengejar Obama, bertanya pada rekannya apa yang sedang mereka kejar. Jawab rekannya, “The big guy (si pemimpin).”
Dia tak mengira kalau ruangan untuk para wartawan itu begitu sempit.
“Saya harus bilang, ruangan ini lebih kecil dari yang saya kira,” katanya sambil melihat ke sekeliling ruangan.
Presiden berusia 47 tahun itu memperkenalkan diri pada mereka yang belum dia kenal selama rangkaian kampanye dan mengaku butuh waktu untuk mengingat masing-masing nama.
Obama melanjutkan perjalanan ke outlet media, masih di lantai yang sama. Obama bertanya tentang alasan mengapa media tertentu memiliki ruang kerja tertentu.
Ketika jawaban yang dia dapat ternyata melibatkan urusan protokoler yang rumit, Obama merespon: “Di sini lebih buruk dibanding di Timur Tengah, siapa duduk di mana dan hal-hal semacam itu.”
Seorang wartawan Politico, Jonathan Martin, kemudian coba-coba bertanya kepada Obama mengenai peluang William Lynn sebagai nominator Deputi Menteri Pertahanan, namun Obama tak mau menjawab dan malah berseloroh.
“Saya ke sini untuk melihat-lihat. Saya tidak selesai mengunjungi kalian dan berjabat tangan dengan kalian kalau saya terus-menerus ditanyai hal-hal seperti itu tiap kali saya turun ke sini,” ujarnya.
“Oke, ayo,” kata Obama lalu meletakkan tangannya ke pundak reporter itu.
“Kami akan mengadakan konferensi pers. Saat itu kalian bebas bertanya. Sekarang saya hanya ingin menyapa kalian dan memperkenalkan diri saya. Itu saja yang ingin saya lakukan di sini,” ujarnya.
Obama yang didampingi beberapa staf gedung putih juga sempat bercanda dengan wartawan yang mengerumuninya. Seorang jurnalis dari CBS News, Mark Knoller bertanya kepada sang presiden soal lapangan basket di Gedung Putih.
“Saya belum mencobanya. Di luar terlalu dingin,” kata Obama sambil tersenyum.
Dia juga menambahkan, lapangan itu telah selesai direnovasi dan siap untuk digunakan. Selain itu, Obama juga bercerita soal lapangan tenis.
Saat Obama berjalan menyusuri tempat makan siang para wartawan, dia melihat sepasang mesin otomatis yang menyediakan minuman soda dan makanan cepat saji.
“Guys, sepertinya kalian butuh makanan ringan yang lebih sehat,” katanya sambil melirik para wartawan. (int)

Iklan Rokok Langgar Hak Konstitusi Anak

Iklan Rokok Langgar Hak Konstitusi Anak

Iklan dan promosi produk rokok seharusnya dihapuskan, karena iklan rokok telah bermetamorfosa menjadi sesuatu yang normal, dan menjadi strategi pasar untuk membujuk anak menjadi perokok.
Batas usia perokok semakin rendah dan karena itu menjadi sangat kausalitas, iklan juga alasan kenapa anak-anak menjadi perokok.
Anak-anak pun telah menjadi korban dari iklan, termasuk iklan rokok, padahal anak-anak memiliki hak konstitusional untuk dilindungi dari iklan promosi dan sponsor.
Itulah berbagai alasan yang mendasari sehingga Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Perlindungan Anak) mengajukan permohonan Uji Materi pasal 46 ayat (3) huruf C, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
Permohonan uji materi itu diajukan bersama-sama dengan Lembaga Perlindungan Anak Jawa Barat, serta dua anak, Alvi dan Sekar, yang diwakili oleh kedua orang tua mereka.
“Kita mohon kepada MK untuk membatalkan UU terse-but, terutama sepanjang frasa yang memperagakan wujud rokok,” ujar Wakil Ketua Komnas Perlindungan Anak, M Joni, saat mendaftarkan permohonan Uji Materi di Mahkamah Konstitusi (MK), di Jakarta, Kamis, 29 Januari 2009.
Komnas Perlindungan Anak menilai UU tersebut bertentangan dengan pasal 28 UUD 1945.
“WHO pun mengakui bahwa rokok adalah zat adiktif. Perusahaan dan industri rokok juga sebenarnya sudah mendalilkan dan mengakui zat adiktif dalam rokok. Rokok itu satu keranjang dengan minuman keras, alkohol, dan zat psikotropika,” cetusnya.
Dalam UU Penyiaran pasal 46 ayat 3 huruf B telah jelas dicantumkan, bahwa minuman keras dan zat adiktif dikualifikasikan sebagai benda yang tidak boleh diiklankan. Karena itu, sambungnya, rokok juga tidak boleh diiklankan seperti zat adiktif lainnya.
“Disinilah satu alasan kita mengapa pasal tersebut dikualifikasikan melanggar hak konstitusional anak dan remaja, serta melanggar kepentingan konstitusional kita untuk mendapat informasi yang sehat, tidak merugikan seni budaya, kesejahteraan dan kualitas hidup bagi anak-anak,” tandas M Joni.

Sesudah Pukul 21.30 WIB

Ketua Komnas PA, Seto Mulyadi, dalam siaran persnya, mengatakan, pengajuan uji materi itu sejalan dengan isu pelarangan iklan secara menyeluruh yang dibuktikan dengan adanya surat dari Komisi Penyiaran Indonesia No 07/K/KPI/I/2009 tertanggal 14 Januari 2009 perihal tayangan iklan rokok.
Surat edaran KPI meminta pada seluruh stasiun televisi swasta nasional untuk tidak menayangkan iklan rokok dalam bentuk apa pun sebelum pukul 21.30 WIB. Artinya, iklan rokok baru bisa ditayangkan sesudah pukul 21.30 WIB.
Larangan rokok juga terkait dengan fatwa MUI yang mengharam rokok, terutama bagi remaja. Karena itulah, Komnas PA merasa perlu untuk melakukan langkah nyata dan segera, guna mengurangi dan atau menghentikan iklan rokok di berbagai media dan secara khusus di media penyiaran.
Seto Mulyadi yang akrab “Kak Seto”, menyebutkan bahwa pada Pasal 46 Ayat (3) huruf C Undang-undang No 32/2002 tentang Penyiaran yang semula berbunyi, “Siaran iklan niaga dilarang melakukan promosi rokok yang memperagakan wujud rokok” diusulkan berubah menjadi, “Siaran iklan niaga dilarang melakukan promosi rokok.” (win/int)

Wartawan Indonesia Sempat Dilarang Masuk ke Gaza

Wartawan Indonesia Sempat Dilarang Masuk ke Gaza

Tak mudah bagi wartawan untuk meliput peristiwa serangan militer Israel ke wilayah Palestina. Sejumlah wartawan media cetak dan elektronik dari Indonesia, bersama puluhan wartawan mancenagara, sempat dilarang masuk ke Jalur Gaza dan mereka harus menunggu beberapa hari untuk melakukan peliputan di wilayah tersebut.
Wartawan dari Indonesia berjumlah tujuh orang, yakni Hanibal Widada Yudya (ANTV), Musthofa Rahman (Kompas), Akbar Pribadi Brahmana Aji (Tempo), Trias Kuncahyono (Kompas), Andi Jauhari (Antara), Mahendro Wisnu Wardono (Metro TV), dan Ismail Fahmi (TV One).
Otoritas pemerintah Mesir melarang wartawan asing masuk ke Jalur Gaza. Larangan itu membuat banyak wartawan kecewa, karena mereka sudah mengurus semua perijinan dan termasuk pernyataan dari kedutaan besar masing-masing, agar bisa meliput kondisi Jalur Gaza setelah 22 hari dibombardir pasukan Israel.
Para wartawan itu diusir begitu tiba di perbatasan Rafah. Mereka berjumlah sekitar 70 orang dari berbagai negara seperti AS, Belanda, Austria, Norwegia, Slovenia, Belgia, Jerman, Australia, Irlandia, Inggris, Prancis, Jepang, Indonesia, dan Turki.
“Kami menempuh jalan yang panjang untuk sampai ke Rafah guna meliput Gaza pascaagresi Israel, dan sekarang mereka mengatakan bahwa kami tidak bisa masuk ke Gaza,” keluh seorang wartawan.
Menurut sejumlah pejabat keamanan Mesir, mereka melarang wartawan asing masuk ke Gaza karena dikomplain Israel. Kepada Mesir, Israel menyatakan keberatan dengan kehadiran wartawan asing di Gaza. Israel merujuk kesepakatan perbatasan tahun 2005 yang memberikan kewenangan pada Israel untuk menentukan siapa saja yang boleh masuk ke Gaza dari perbatasan Mesir.
Pihak Israel menegaskan bahwa wartawan yang ingin mendapat akses ke Gaza harus mendapatkan ijin dari perbata-san Israel di Karam Abu Salem yang jaraknya sekitar 4 kilometer dari perbatasan Rafah. Na-mun para wartawan menolak perintah itu karena mereka ingin melakukan perjalanan langsung dari Mesir ke Jalur Gaza.
Para wartawan yang marah berkumpul di pintu gerbang perbatasan Rafah, mereka me-ngacung-acungkan dokumen sebagai bukti bahwa mereka sudah memenuhi persyaratan untuk masuk ke Gaza. Beberapa wartawan menelpon kedutaan besar mereka untuk menyampaikan protes.
Namun beberapa hari kemudian, tanpa alasan yang jelas, pihak keamanan Mesir tiba-tiba membolehkan juru warta itu masuk ke Gaza.
“Kami masuk bersama semua wartawan yang menunggu di perbatasan selama lebih dari dua pekan,” kata Akbar beberapa jam selah kakinya menginjak bumi Palestina, Rabu malam, 21 Januari 2009.
Beberapa hari kemudian, dua wartawan Indonesia yakni Mahendro Wisnu Wardono dan juru kamera Sadudin Muklis dari Metro TV, masuk ke Jalur Gaza lagi, di saat hampir semua wartawan Indonesia lainnya telah keluar dari kawasan tersebut setelah mereka melakukan peliputan.
“Ya, saya ditugaskan oleh kantor untuk masuk ke Jalur Gaza lagi. Hanya saja, saat masuk yang kedua kali ini, pejabat perbatasan di Jalur Gaza sempat mengajukan pertanyaan tentang sikap kami atas serangan Israel dan perlawanan pejuang Gerakan Perjuangan Islam Palestina (Hamas) atas agresi Israel itu,” kata Mahendro Wisnu Wardono.
Pertanyaan yang diajukan kepada wartawan—yang waktunya sekitar 30 menit—sepertinya ingin mengetahui sejauh mana objektivitas laporan para wartawan yang sudah diizinkan masuk ke Kota Gaza, apakah seimbang, mendukung perjuangan Hamas atau bahkan pro kebijakan Israel. (win/int)

Bisnis Survei Politik

Bisnis Survei Politik

Harian Kompas beberapa waktu lalu memberitakan bahwa perusahaan konsultan pemasaran dan bisnis Markplus Insight ternyata tertarik dengan bisnis survei politik yang kian berkembang menjelang pesta demokrasi tahun 2009.
Hal itu terbukti dengan didirikannya Indonesia Political Marketing Research (IPMR), di kantor Markplus Institute of Marketing Campus, Jakarta.
Berbeda dengan kebanya-kan lembaga survei lainnya, Markplus terlihat sangat serius menggarap bisnis ini.
Dalam survei politik beberapa bulan lalu, Markplus melibatkan 16.800 responden yang tersebar di seluruh daerah pemilihan yang ada di Indonesia. Survei itu merupakan yang terbesar, terlengkap, dan relevan dengan situasi calon pemilih Indonesia yang sangat heterogen.
Chief Executive Associate Partner Markplus Insight Taufik pada jumpa pers mengenai Political Tracking Research untuk Pileg dan Pilpres 2009, mengatakan, dengan memosisikan diri sebagai lembaga survei yang independen yang bebas dari ‘pesanan politik’, IPMR menggelontorkan uang yang tidak sedikit, yakni Rp 3,5 miliar per survei.
Hasil survei ini rencananya akan dijual kembali kepada 38 partai politik nasional peserta pemilu 2009 dalam bentuk peranti lunak atau software seharga sekitar Rp 300 juta-450 juta.
Dalam surveinya, IPMR mengevaluasi tiga hal, yakni tingkat popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas parpol dan tokoh nasional yang akan bertarung dalam pemilu 2009, persepsi, citra, kualitas, aspek positif, dan aspek negatif parpol dan capres, serta calon anggota legislatif yang dianggap pantas di setiap daerah pemilihan (dapil). (int)

Tidak Semua Lembaga Survei dapat Dipesan

Tidak Semua Lembaga Survei dapat Dipesan

Banyak yang menuding Lembaga Survei dapat dipesan atau dibeli. Lembaga survei pun kemudian mempertaruhkan dirinya dengan melakukan pengumuman hasil perhitungan cepat pada Pemilu dan Pilkada.
Terlepas dari bagaimana hasil perhitungan cepat dan hasil surveinya, be-narkah tudingan bahwa lemba-ga survei bisa dipesan atau dibeli?
Calon presiden dari Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Sutiyoso dalam suatu kesempa-tan menyebutkan bahwa ada lembaga survei yang bisa dipe-san oleh sekelompok tertentu.
Pernyataan itu disayangkan oleh Direktur Lingkaran Survei Indonesia Denny JA. Ia mengatakan semua tergantung track record lembaga survei bersangkutan.
“Tergantung trak record lembaganya, kalau baru muncul 3, 6 bulan, atau kemarin itu belum teruji dan sangat mungkin,” kata kepada okezone.
Denny memang tidak menampik, saat ini ada banyak lembaga survei yang memiliki reputasi yang baik dan buruk. Cara menilai lembaga survei tersebut, ia menyebut perlunya melihat track record dari masing-masing lembaga survei tersebut.
“Yang penting juga tiap ada pengumuman lembaga survei, recordnya harus teruji. Misalnya dia buat quick count yang ketika dicocokkan dengan hasil KPU atau KPUD, tidak salah, tapi kalau yang nggak pernah ya mungkin saja melakukan hal itu,” tandasnya.
Dia juga membantah, kalau semua lembaga survei disamaratakan dengan wacana tersebut.
“Tergantung lembaga surveinya. Kalau ecek-ecek mungkin, tapi kalau yang sudah teruji tidak akan dilakukan. Penyanyi tidak bisa diseragamkan, ada yang kelas dunia seperti New Kid on The Block. Dan media juga harus cerdas dalam memilih lembaga survei yang akan digunakan,” tuturnya.

Tak Ada Jual Beli

Direktur Eksekutif LSI Saiful Mujani, juga menampik tudingan lembaganya melakukan “jual-beli” dalam melakukan survei Partai Politik.
LSI pada minggu pertama Januari 2009 merilis hasil surveinya yang mengatakan peringkat PKS sebagai partai paling bersih dari korupsi turun ke posisi kedua di bawah Partai Demokrat.
“Saya kira tudingan ini sangat tidak beralasan, karena asumsinya salah. Saya tegaskan di sini, kami, khususnya LSI tidak pernah ada ‘jual beli’. Saya tidak tahu kalau lembaga lain,” ujarnya.
Selain itu, Mujani menilai PKS terlalu sensitif menanggapi hasil survei yang dilakukan LSI, yang menmpatkan PKS berada di urutan nomor dua klasemen, setelah Partai Demokrat.
“Lagi pula kemarin kami tidak pernah menyinggung turunnya suara PKS, mungkin media saja yang mem-blowup ini. Partai-partai besar seperti PDIP, dan Golkar juga menanggapi proporsional hasil ini,” imbuhnya.
Penurunan suara PKS sejatinya tidak terlalu signifikan dibanding partai lain yang mengalami penurunan tajam. PKS hanya turun dari 7 persen menjadi 4 persen.
“Itu kan sangat sedikit dibandingkan Golkar yang dari 22 persen menjadi 13 persen,” terangnya. (int)

Gunakan Pendekatan Akhlak dan Dakwah

Gunakan Pendekatan Akhlak dan Dakwah

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, juga angkat bicara mengenai fatwa MUI tersebut. Ia mengatatakan, para ulama dalam memutuskan sebuah fatwa hendaknya perlu mempertimbangkan kondisi masyarakat.
Persoalan halal haram apalagi yang menyangkut dosa tidak mesti selalu dilihat dari hukum fiqih, tetapi cukup dengan pendekatan akhlak dan dakwah.
Hal itu diungkapkan di sela-sela acara Milad Muhammadiyah ke-99 di Universitas Muhammadiyah Palembang, Rabu, 28 Januari 2009.
Meskipun fatwa merupakan kewenangan ulama, Din mengingatkan, para ulama harus arif dan bijaksana, dan selalu memperhatikan kondisi masyarakat.
“Seperi golput misalnya, tidak semua bisa dikaitkan dengan hukum agama halal dan haram”, sanggahnya.
Din menganjurkan kepada masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya, sebagai manifestasi warga negara yang baik, dan memiliki tanggungjawab moral untuk melakukan perubahan lebih baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta itu mengatakan, seharusnya MUI mengeluarkan fatwa-fatwa prioritas, yang berkaitan dengan persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia, seraya menyebutkan contoh fikih korupsi, bagaimana meningkatkan daya saing bangsa, memerangi kemalasan, dan sejenisnya.
“Bukan fatwa yang bersifat ad hoc atau kontroversi,” katanya.

Sedikit Berlebihan

Ketua Lembaga Hikmah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Bahtiar Effendi mengatakan, para ulama memang memiliki tujuan yang baik agar masyarakat ikut pemilu, sehingga masyarakat berperan dan kesinambungan kepemimpinan terjamin.
Namun menurut guru besar UIN Jakarta ini, MUI sedikit berlebihan. Karena menurutnya, memilih dan tidak memilih itu hak setiap warga negara. Jadi tidak bisa diwajibkan. Terlebih kewajiban itu mengandung konsekuensi hukum.
Sebaiknya MUI mencabut fatwa itu, dan menggantikannya dengan anjuran, himbauan bahwa rakyat Indonesia sebaiknya ikut berpartisipasi dalam pemilu, dengan alasan untuk kelancaran praktek demokrasi di Indonesia.
Menurut Bahtiar, tak ada salahnya MUI mencabut fatwa seperti itu. Dalam negara yang berdemokrasi seperti kita, tak diperlukan lagi fatwa-fatwa seperti itu.
“Masak, saya tak memilih dalam pemilu kemudian dianggap berdosa,” tambah pengajar ilmu politik pascasarjana UI ini. (win/int)

Fatwa MUI Tentang Pemilu Munculkan Kontroversi

Fatwa MUI Tentang Pemilu Munculkan Kontroversi

Majelis Ulama Indonesia pada 31 Januari 2009, mengeluarkan fatwa tentang Pemilu. Media memberitakan bahwa MUI mengharamkan Golput. Reaksi pun bermunculan. Ada yang pro dan ada yang kontra.
Benarkah MUI mengharamkan Golput?
Dalam Diktum Diktum Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Tentang Pemilu, tanggal: 31 Januari 2009, MUI mengatakan, fatwa tersebut disepakati setelah melalui perbincangan hampir sehari penuh dalam rapat Komisi Masail Asasiyah Wathaniyah (Masalah Strategis Kebangsaan), kemudian dikerucutkan dalam Tim Perumus dan diajukan ke sidang pleno Ijtima Ulama.
Diktum keputusannya menyebutkan bahwa (1) Pemilihan Umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
MUI juga menyatakan bahwa (2) memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama. Selain itu dikatakan bahwa (3) imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.
Point keempat diktum menyatakan bahwa memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
Dalam poin kelima yang merupakan point terakhir, MUI menegaskan bahwa memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat, hukumnya adalah haram.
Seperti diketahui fatwa ini dibuat dalam Musyawarah Ijtima Fatwa Ulama Indonesia 24-25 Januari di Padangpanjang, Sumatera Barat.
Fatwa ini kata salah satu Ketua Majelis Ulama Indonesia, Cholil Ridwan dibuat untuk Golongan Putih atau tak memilih dalam Pemilu, lebih kepada penekanan bahwa memilih wajib hukumnya jika ada pemimpin yang memenuhi kriteria dalam Islam. Bukan kepada fatwa mengharamkan golput. Artinya MUI memfatwakan wajib hukumnya bagi warga untuk memilih pemimpin yang baik, yang memenuhi kriteria Islam.
“Jika kemudian ada pemimpin yang baik tetapi tidak dipilih hukumnya menjadi haram,” kata Chalil.
Dia menjelaskan, pemimpin yang baik dalam Islam adalah pemimpin yang amanah (bisa dipercaya), mumpuni, bertanggung jawab, saleh dan benar-benar memenuhi kriteria sebagai pemimpin Islam.

KPU Sambut Baik

Berbeda dengan sejumlah ahli dan pengamat yang memandang pesimis fatwa MUI terkait keberadaan golongan putih (golput) bagi umat Islam, Komisi Pemilihan Umum (KPU) justru menyambut baik dan memberikan apresiasi. Sebab fatwa ini memberikan angin segar dan turut mendorong suksesnya Pemilu 2009.
“Kita memberikan apresiasi terkait dengan fatwa MUI. Sebab semua itu justru bertujuan untuk menyukseskan Pemilu,” kata anggota KPU, Abdul Aziz, kepada Persda Network Jakarta.
Fatwa MUI bukan memaksa warga untuk memilih, tetapi lebih kepada menggugah warga Indonesia yang mayoritas Islam untuk memberikan hak pilihnya dalam Pemilu 2009.
“Sekali lagi kita menyambut baik, sebab fatwa itu sebetulnya untuk menggugah rasa tanggung masyarakat untuk memilih pemimpin yang dianggap pas dan meningkat partisipasi masyarakat dalam Pemilu 2009,” kata Abdul Aziz.
Dia mengatakan, KPU tidak dapat memberikan penilaian, sebab permasalahan itu dikembalikan kepada orang-orang yang ahli agama dan biarlah warga yang mencerna dan memahami isi fatwa MUI.
Tetapi sebagai lembaga yang sedang berjibaku untuk menyukseskan Pemilu, Aziz menganggap fatwa MUI turut menyukses Pemilu.
“Biar saja ahlinya yang memberikan menilai bukan KPU. Tetapi semuanya dikembalikan kepada warga untuk mencerna dan memahaminya. Pada intinya kita menyambut baik,” kata Abdul Aziz. (win/int)

Secangkir Teh Manis

Secangkir Teh Manis

Cerita Pendek Jurlan Em Saho’as

Balqis, masih duduk terpaku di bangku taman kota. Sebuah taman penuh bunga dan bu-rung- burung kecil hinggap di tanah mematuk serangga. Di sekeliling gelap mulai merapatkan tubuhnya. Angin berhembus malas. Selain Balqis tak ada lagi orang lain di sekitar.
Aku memang datang terlambat menjemputnya. Sudah kukatakan kepadanya, hari ini sungguh banyak tugas kantor yang harus kuselesaikan. Aku memang sudah sering-sering terlambat datang menjemput. Sudah tak terhitung lagi sejak tiga tahun lalu kami berdua sepakat untuk saling mencintai, menyatukan hati yang berbeda untuk saling berbagi dalam duka dan suka.
Aku memang beruntung mengenalnya, aku kagum lantaran kesabaran yang dimiliki. Dia sudah terbiasa diperlakukan begitu.
Pernah suatu waktu aku sengaja menguji kesabarannya. Aku sangat ingin melihat dia marah. Aku ingin melihat wajahnya memerah, atau setidaknya sorot matanya memperlihatkan pancaran penyesalan kepadaku. Aku sengaja membiarkan ia menunggu berjam-jam lamanya. Tapi masya Allah, justru dia tidak memperlihatkan reaksi yang membuatku ketakutan. Tak ada sedikit pun kekecewaan yang tergambar di wajahnya, malah dia hanya tersenyum ramah lalu mengajakku segera mengantarnya pulang.
Balqis sebetulnya bukanlah sosok yang asing bagiku. Kami ber-dua lahir di desa yang sama. Tahunnya juga sama, hanya beda bulan. Kami satu sekolah di SMA dahulu. Bedanya, dia di kelas IPS sedang aku di kelas bahasa. Rumahku dan rumahnya berhadapan. Jadi sabang hari pasti kulihat dia melintas di jalan depan rumah. Tapi sekalipun rumah kami begitu dekat, pergaulan kami berjalan apa adanya. Layaknya orang bertetangga, saling menyapa dan saling menolong bila ditimpa kesusahan.
Setamat SMA kami sama-sama disekolahkan ke kota. Sejak itulah kami tidak pernah bertemu. Kami memang tidak pernah menjalin komunikasi. Apalagi kami tidak masuk diperguruan tinggi yang sama. Balqis kuliah di ibukota kabupaten sedang aku kuliah di ibukota provinsi.

* * * * *

Balqis tumbuh menjadi gadis berani dan cerdas. Begitulah kesan pertama ketika suatu hari aku menyaksikan tampil di mimbar sebagai ketua panitia maulidan di masjid. Dia tak canggung berbicara di depan orang banyak, di depan para tokoh masyarakat, pemuka agama, Pak Camat, Pak Lurah dan yang terpenting lagi di depan orang tuanya sendiri dan guru yang mengajar kami di SMA dahulu.
Suatu tugas berat yang biasanya tak semua orang mampu melakukan bila dilakukan di hadapan orang tua yang melahirkan dan guru yang mengajarkan ilmunya di bangku sekolah.
Aku masih ingat ucapannya sesaat sebelum meninggalkan desa. Waktu itu aku sempat menanyakan cita-citanya kelak. Cita-citanya memang tinggi, ia ingin melanjutkan kuliah di kota kabupaten, lalu bekerja dan memiliki usaha sendiri. Dia tak berpikir kuliah ke Makassar. Dia berpikir kuliah di kota kabupaten tidak perlu canggung. Kecerdasan seseorang tidak ditentukan oleh di kota mana dia me-nuntut ilmu, kecerdasan seseorang tidak ditentukan oleh mahal tidaknya biaya kuliah. Tapi, kecerdasan dan prestasi sangat ditentukan oleh seberapa jauh motivasi yang kita miliki, seberapa jauh ketekunan dan kesungguhan yang kita miliki.
Seusai acara maulidan aku berupaya mendekati Balqis. Tentu saja aku tidak begitu percaya diri mendekatinya. Aku takut menjadi pusat perhatian anak-anak muda lainnya. Cepat-cepat aku beranjak dari tempat dudukku ketika kulihat Balqis sudah akan pulang. Dua batang telur hias di tangannya. Sesekali dia tersenyum kepada setiap orang yang menyalaminya. Tak terasa aku sudah berada di sisi kirinya ketika Balqis sudah tiba di pintu masjid.
“Balqis..., selamat ! Mantap pidato sambutanmu tadi,” ucapku sedikit grogi sembari menyodorkan tanganku. Bersalaman.
Balqis tidak langsung membalas sanjunganku. Dia hanya tersenyum. Wajahnya makin berwibawa.
“Bagaimana kuliahmu Teguh? Kapan diwisuda?” Balqis balik bertanya.
“Masih lama, masih ada dua semester,” jawabku singkat.
“Kabarnya kamu kuliah sembari kerja, kamu sibuk sekali yah ?” Balqis balik bertanya.
Pertanyaan Balqis itu membuatku makin percaya diri. Aku merasa tersanjung dengan ucapannya barusan. Setidaknya secara tidak langsung Balqis mengetahui kalau aku terlambat meraih sarjana karena ada kesibukan lain.
Aku tidak seperti anak muda lainnya di desaku yang kebanyakan terlambat selesai dengan alasan yang bermacam-macam. Ada yang beralasan sebagai aktifis kampus, demonstran, ada pula yang aktif di LSM-LSM. Mereka beranggapan, sebagai aktifis sah-sah saja terlambat selesai.
Mereka mengekspresikan demo di jalan, di gedung wakil rakyat dan di kantor-kantor pemerintahan merupakan bagian dari kepedulian terhadap rakyat yang tertindas, termasuk belajar berdemokrasi, kendatipun terka-dang mereka sendiri memaksakan kehendaknya, memaki tanpa mempedulikan perasaan orang yang dihujat.
Padahal, mereka memahami bahwa demokrasi itu adalah saling menghargai, setiap orang memiliki hak untuk berbicara, didengar dan mendengar. Demokrasi tidak mengajarkan amarah. Tapi sebaliknya, mengajak orang berlaku arif, bijaksana dan saling memahami.
Tidak terlalu banyak yang kami bicarakan berdua malam itu. Hanya saja kekagumanku di saat menyaksikan Balqis di atas mimbar makin bertambah tatkala dia menyampaikan kalau minggu depan dia bakal ke Makassar.
Dia baru saja mendapat surat panggilan kerja dari sebuah perusahaan ekspedisi. Kami berdua berpisah begitu langkah kami tiba di halaman masjid.

* * * * *

Sejak pertemuan malam itu pada acara maulidan komunikasi kami berdua tidak terputus. Aku sudah men-save nomor hpnya. Begitu pula sebaliknya. Balqis malah lebih menghapal nomorku dibanding aku yang memang tidak pernah men-save di otakku nomor-nomor dari kawan-kawan dekat sekalipun, selain nomor pimpinan dan beberapa teman kantor yang terkait langsung dengan bidang tugasku. Aku kerja di sebuah perusahaan periklanan.
Suatu hari di anjungan Pantai Losari, saat matahari menjelang terbenam, kami berdua duduk menikmati “pisang epeq” sembari menghadap ke laut lepas.
Di sinilah kisah kami bermula. Aku yang dulunya merasa seorang diri kini ada teman bertukar pikiran, berdialog dan berbagi rasa. Ketika si bola cahaya merapatkan dirinya di peraduan, mengikhlaskan diri terbenam ke dalam perut laut, saat itu lazuardi memancarkan keindahannya dengan warna merah saga yang berhamburan seperti lukisan seorang seniman di atas kanvas.
Aku sengaja mencuri pandang, menatap wajah Balqis yang tengah serius menikmati pemandangan alam yang baru kali ini dinikmatinya.
Aku sungguh mengaguminya. Manis sebetulnya rupa wajah gadis di sampingku ini. Kulitnya putih terawat. Matanya yang cantik dihiasi alis hitam tebal. Balqis tumbuh se-bagaimana gadis dewasa yang cer-das yang memiliki cita-cita setinggi bintang di langit. Berkedip tapi tak pernah berhenti bersinar.
Aku pengagum sosok wanita yang berjiwa seperti baja, cerdas dan selalu bergairah untuk maju. Sosok itu terdapat dalam diri gadis yang ada di dekatku kini. Namun aku memiliki sifat yang tak pernah terdeteksi oleh siapapun.
Aku suka menguji kebesaran jiwa seseorang dan kemanpuannya dalam mengambil sebuah keputusan. Aku sangat senang menyaksikan sikaf dan laku seseorang ketika berhadapan dengan persoalan yang sungguh sangat tidak disukainya. Balqis pun tidak lepas dari eksperimenku.

* * * * *

Balqis masih duduk di bangku taman kota. Burung-burung kecil satu per satu meninggalkan tanah tempat mematok serangga Senja sebentar lagi beralih malam. Aku betul-betul terlambat. Ini kali aku tidak sengaja melakukan. Aku menyesal. Mudah-mudahan saja Balqis tidak menilaiku mengujinya. Aku meminta ma’af.
“Ma’afkan aku. Aku betul-betul tidak sengaja. Pimpinan tiba-tiba meeting dengan semua staf. Semua bidang diminta melaporkan hasil kerjanya,” ucapku seketika berdiri di hadapan Balqis.
Dia tidak langsung membalas ucapanku. Dia hanya menatapku perlahan sembari tersenyum. Tak ada sesal dan jengkel yang memancar dari wajahnya.
“Aku tidak bisa membedakan an-tara sengaja dan tak sengaja. Aku hanya berpikir, apakah keadaan ini akan berlanjut hingga rumah tangga kita bangun,” jawab Balqis sembari bangkit dari tempat duduknya.
“Aku pikir tidak.”
“Apakah kanda percaya dengan pribahasa, lele bulu tellele abiasang. Gunung bisa saja berpindah tapi kebiasaan susah diubah.”
“Karenanya, kebiasaan harus diubah dengan kebiasaan pula.”
Kami diam berdua. Tak ada yang melanjutkan pembicaraan. Kami melangkah meninggalkan taman kota. Hari sudah makin gelap.
Seperti biasa, jika aku diminta menjemput kami tidak langsung pulang ke rumah, kami selalu mampir menikmati pisang epe di anjungan Pantai Losari. Jika malam-malam begini berada disana kami tentunya menikmati geliat ombak yang saling berkejaran ke pantai. Geliat ombak dan gemuruh laut sungguh memberi kesan tersendiri bagi setiap orang yang menikmatinya.
Suasana indah itu makin menyentuh ketika panda-ngan mengarah ke laut lepas. Perahu nelayan dan kapal-kapal barang menjadi pemandangan yang mengasyikkan.
“Teguh, aku sangat menyukai namamu. Aku bangga menjadi kekasih seorang yang mampu hidup mandiri di kota dan tak lupa membalas budi orang tuanya, sekalipun kutahu sampai matipun kita tidak mampu membayar setetes air susu ibu.”
Balqis tetap menatap wajahku tanpa berkedip. Aku diam saja. Aku masih menunggu kelanjutan kata-katanya.
“Aku ingin mengatakan sesuatu, sekalipun mungkin pahit terasa, sepahit buah bagore atau kayu sanrego, boleh kan?”
Aku tidak langsung memberi jawaban. Aku seperti terkena setrum 5.000 watt. Tapi sebagai lelaki, aku bersikap tenang dan tidak memperlihatkan rasa kaget sedikitpun, sekalipun ombak sudah menggeliat dahsyat di dadaku dan di telingaku seperti baru saja ada kereta api yang berlalu.
Balqis mengalihkan pandangannya ke laut. Dia tidak mampu menatap mataku. Dia tahu kalau aku berpikir keras.
“Gemuruh laut, geliat ombak, kedipan lampu perahu nelayan di kejauhan merupakan sebuah kenangan yang tak bisa terlupakan. Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Aku diperhadapkan dua pilihan. Pagi tadi ayah menelponku mengajak pulang, aku dilamar seorang pengusaha tetangga desa.”
Ucapan Balqis itu hampir saja membuatku lumpuh. Dadaku tidak saja terasa sesak, seperti habis minum air tiga ceregen, tapi ombak itu betul-betul terasa menggeliat dan menghempas jiwaku. Mataku sedikit lagi berkaca-kaca, tapi aku masih mengingat nasehat ibuku, anak lelaki tidak baik meneteskan air mata. Aku masih berusaha memberi jawaban tapi mulutku terasa kaku. Aku menyadari, kalau selama ini aku yang suka menguji wanita yang kukagumi, kini giliranku yang diuji.
“Dindaku, apa yang engkau sampaikan memang ujian bagi jiwaku. Tapi ketahuilah, bahwa hal itu juga ujian bagi dirimu. Berbuatlah kebajikan sekalipun sekali saja.”
Balqis balik menatap wajahku. Ini kali dengan tatapan kagum.
Malam makin larut. Kami beranjak pulang. Semakin jauh kami melangkah hingga gemuruh laut tidak kedengaran lagi.
Matahari hari belum sedepah. Aku dibangunkan oleh nada SMS dari Hpku. Aku memang tertidur di atas sajadah seusai solat Subuh tadi. Rupanya Balqis mengirimkanku pesan singkat.
“Assalamu alaikum Kanda. Maafkan adinda, semalam aku hanya mengujimu.”
Subhanallah ! Ibarat secangkir teh manis di pagi hari.

Makassar, 27 Januari 2009

Puisi dan Profil Singkat Seniman

AM Mochtar, lahir di sebuah desa kecil Desa Marioriwawo, Kabupaten Bone, 17 Agustus 1940. Budayawan dan penyair yang serba bisa ini dikenal juga sebagai seorang pengusaha, jurnalis, aktor, sutradara, serta penulis naskah drama, sinetron, dan film. Puluhan karya drama dan sinetron lahir di tangannya, baik yang ditampilkan di tivi lokal maupun tivi nasional. Kini sibuk mendampingi Gubernur Sulsel H. Syahrul Yasin Limpo sebagai salah satu staf ahli bidang kebudayaan dan pariwisata ***

Mengenal Sosok Rahman Arge

Mengenal Sosok Rahman Arge

Oleh : Asnawin


Puluhan tahun lalu, seorang pemuda bernama Abdul Rahman Gega melamar sebagai calon wartawan di Harian Pedoman Rakyat. Koran terbesar di Sulawesi Selatan dan kawasan timur Indonesia itu kebetulan membuka pendaftaran untuk calon wartawan.
Lelaki kelahiran Makassar, 17 Juli 1935 itu datang mendaftar bersama seorang rekannya bernama Arsal Al Habsy.
Oleh M Basir, wartawan senior Harian Pedoman Rakyat saat itu, Abdul Rahman Gega dan Arsal Al Habsy diberikan sebuah mesin ketik. Mereka diminta membuat esai jurnalistik.
Mereka kemudian mencari ide. Arsal tampaknya lebih cerdas karena dengan cepat ia mampu membuat esai jurnalistik dengan judul Paradoks, sedangkan Abdul Rahman Gega harus keliling Makassar, masuk keluar lorong untuk mencari gagasan esainya.
Ia kemudian menyaksikan sebuah parade kebudayaan Makassar di mana kalangan etnis Tionghoa menaiki kuda yang dituntun oleh lelaki Makassar asal Jeneponto. Dari situ, ide menulisnya mulai muncul.
Esai pertamanya diberi judul “Kepada Pemuda-Pemuda Harapan Bangsa.”
Karena saat itu bahasa Belanda dianggap sebagai bahasa elite, Abdul Rahman Gega pun menyisipkan sejumlah kosa kata bahasa Belanda dalam esainya.
Usai merampungkan tulisannya, ia diliputi keraguan dan sedikit ketakutan, karena harus membawa dan berhadapan langsung dengan M Basir yang konon orangnya “keras dan tegas” dalam menghadapi dan mendidik para wartawannya.
Keraguan dan ketakutan itu tidak langsung dirasakan, karena kebetulan saat menyerahkan naskah esai jurnalistiknya, M Basir tidak ada di kantor. Tulisan itu pun hanya ia taruh di meja M Basir.
Masa menunggu tulisannya diedit, Abdul Rahman Gega diliputi berbagai macam perasaan. Takut, malu, sekaligus penuh harapan.
Beberapa hari kemudian, tulisan Arsal Al Habsy, yang berjudul “Paradoks”, dimuat pada halaman satu harian Pedoman Rakyat.
Abdul Rahman Gega senang karena tulisan rekannya sudah termuat, tetapi ia juga langsung bertanya-tanya pada dirinya, karena tulisannya belum dimuat. Keraguan pun menyeruak. Ia bertanya pada dirinya, apa memang dirinya bisa menjadi seorang penulis.
Pertanyaan itu terjawab dua minggu kemudian. Esainya diterbitkan dan judulnya tidak diubah: “Kepada Pemuda-Pemuda Harapan Bangsa.”
Beberapa waktu kemudian, M Basir memanggil Abdul Rahman Gega dan Arsal Al Habsy. Kepada keduanya, M Basir mengatakan bahwa setiap orang punya gaya tersendiri dalam penulisan.
Arsal menulis dengan gaya penulisan buku karena memang rajin membaca buku, sedangkan Abdul Rahman Gega menulis dengan gaya kampung, karena dirinya sering keluar masuk lorong.
Sejak itulah Abdul Rahman Gega aktif dan bergelut dalam dunia jurnalistik. Dengan semangat, bakat, dan kemampuan yang ia miliki, Abdul Rahman Gega kemudian terpilih menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulawesi Selatan.
Sebagai Ketua PWI Sulsel, Abdul Rahman Gega kemudian terpilih mewakili komunitas wartawan menjadi anggota DPRD Sulsel dan selanjutnya menjadi anggota DPR/MPR RI.
Itulah sekelumit perjalanan hidup Abdul Rahman Gega dalam dunia jurnalistik. Itulah salah satu sisi perjalanan hidup lelaki yang kemudian lebih dikenal dengan nama Rahman Arge.

Sisi Lain

Bagaimana dengan sisi lain sosok Rahman Arge? Ternyata ia bukan sekadar wartawan dan penulis, melainkan juga seorang seniman dan budayawan. Ia pemain teater, juga penulis naskah teater, dan bahkan sutradara.
Rahman Arge yang pernah sekolah jurnalistik dan drama, juga cukup piawai sebagai politisi.
Di bidang jurnalistik, ia bersama Mahbub Djunaidi mendirikan koran Duta Masyarakat edisi Sulawesi Selatan. Ia juga menebitkan majalah Suara, Esensi, Timtim, Harian Pembaharuan, dan Pos Makassar.
Ia kemudian menjabat Ketua PWI Sulawesi Selatan (1973-1992), dan anggota Dewan Kehormatan PWI pusat. Tak heran kalau kemudian pemerintah memberikan penghargaan kesetiaan mengabdi selama 50 tahun di dunia pers.
Di bidang politik, ia sempat menjadi anggota DPRD Sulawesi Selatan selama empat periode, dan satu periode anggota DPR/MPR.
Di bidang teater, film, dan kebudayaan, Rahman Arge telah bermain di tujuh film, dan di dua festival film nasional, sekaligus mendapat Piala Citra dan Piala Khusus.
Arge adalah pendiri Teater Makassar (TM), serta pernah memimpin Dewan Kesenian Makassar (DKM), dan Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) Sulawesi Selatan.
Ia telah menerima Anugerah Seni pada 1977 dan Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden RI pada tahun 2003. Pernah pula meraih penghargaan sebagai penegak pers Pancasila atas jasanya melawan PKI.
Belasan naskah teater telah ditulis sekaligus menyutradarai dan menjadi aktornya. Beberapa kali mengikuti festival teater di TIM (Taman Ismail Marzuki). Salah satu naskahnya pernah dipentaskan di Jepang. Japan Foundation telah memberinya penghargaan sekaligus hadiah keliling Jepang, 1980. Ini menambah deretan perjalanannya ke mancanegara.
Tahun 1993-1997, Arge dilantik sebagai Wakil Ketua Umum Parfi (Persatuan Artis Film Indonesia) pusat, dan kemudian duduk sebagai Anggota Dewan Penasihat Parfi pusat.
Di bidang sastra, selain menulis naskah drama, juga menulis cerpen, puisi, dan esai. Pernah didaulat sebagai penasihat panitia Konggres Kebudayaan Nasional V, 2003.
Dari ratusan bahkan mungkin ribuan tulisannya di berbagai media, Rahman Arge memilih 200 di antaranya yang kemudian dibukukan dengan judul “Permainan Kekuasaan”. Buku itu diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas, dengan prolog Prof Dr Toety Heraty, dan epilog Jakob Oetama.
Tulisan dalam buku tersebut, merupakan hasil petualangannya ke berbagai penjuru dunia—Praha, Sungai Volga, Tembok Besar China, juga Istana Alhambra hingga ke Hiroshima—serta kepeduliannya pada nasib rakyat jelata di Tanah Air. Selain itu, juga ada pembelajaran dari kiprah tokoh-tokoh terkenal; mulai Cut Nyak Dien, Robert Wolter Monginsidi, Nelson Mandela, Anwar Ibrahim, hingga Bung Karno.
Atas berbagai pengalaman dan kemampuan yang dimiliki, tak heran kalau banyak orang yang mengagumi dan memuji Rahman Arge.
Direktur Utama Fajar Group, Alwi Hamu, malah tidak sungkan-sungkan mengakui kehebatan seorang Rahman Arge.
“Dia itu guru saya,” kata Alwi yang juga mantan Ketua PWI Sulsel.
Arge hingga kini masih aktif menulis di media massa dan tampil menyajikan makalah kebudayaan dan jurnalistik di berbagai forum seminar dan diskusi. Arge juga masih menyimpan dan bersahabat dengan mesin ketik tua pemberian M. Basir puluhan tahun silam.***
copyright@koranpwi, 9 Februari 2009

Kiat Arifuddin Nurdin Memimpin PLN Sulselrabar

Kiat Arifuddin Nurdin Memimpin PLN Sulselrabar

Terbitnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, kala itu sempat dianggap sebagai berakhirnya peran PT. PLN (Persero) sebagai satu-satunya perusahaan penyedia daya listrik secara nasional.
Dengan kata lain, Undang-Undang Ketenagalistrikan (UUK) tersebut membuka pintu seluas-luasnya kepada pihak swasta atau pemerintah daerah untuk ikut mengelola listrik.
Namun bagaimana realisasinya? Tampaknya tak semudah membalik telapak tangan. Bahkan lahirnya UUK itu sendiri sempat menimbulkan beragam kontroversi.
Mantan General Manager (GM) PT. PLN (Persero) Wilayah Sulselrabar Ir H Arifuddin Nurdin, kepada Koran PWI belum lama ini, mengatakan, setidaknya ada 13 perbedaan prinsip antara UU No 15 tahun 1985 dengan UU No 20 tahun 2002.
Di antaranya, dalam UU No 15/1985 disebutkan PLN adalah Pemegang Hak Tunggal Penyediaan Tenaga Listrik (PKUK / Pemegang Kuasa Usaha Kelistrikan) dan melaksanakan misi sosial.
Sementara dalam UU No 20/2002 disebutkan menjadi daya listrik disediakan oleh pihak yang memperoleh izin usaha, atau Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (PIUPTL).
Terbitnya UUK, kata Arifuddin Nurdin yang kini dialihtugaskan sebagai GM PLN di Provinsi Bali, memang membuat PLN berada pada posisi tidak lagi sebagai pemegang monopoli penyedia tenaga listrik secara nasional.
UUK membuka kesempatan terjadinya persaingan pada sisi hulu, yakni pembangunan mesin pembangkit, dan di sisi hilir adalah retail.
Yang masih dimonopoli PLN tinggal sisi transmisi dan distribusi. Persaingan ini diharapkan akan menghasilkan efisiensi penyediaan tenaga listrik secara nasional, karena kaidah bisnis pada setiap pelaku adalah setiap investasi harus menghasilkan kembali modal.
Persyaratan dalam berkompetisi itu, kata Arifuddin, ada 7 hal yang harus diperhatikan yaitu; 1. Tingkat harga jual tenaga listrik yang sesuai dengan nilai keekonomiannya, 2. Kompetisi pasokan energi primer 3. Pembentukan Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (BPPTL). 4. Kesiapan aturan yang diperlukan dalam penerapan kompetisi. 5. Kesiapan infrastruktur, perangkat keras dan perangkat lunak sistem tenaga listrik 6. Kondisi sistem yang memungkinkan untuk berkompetisi, dan, 7. Kesetaraan Badan Usaha yang akan berkompetisi.
Selama ini listrik merupakan salah satu infrastruktur perekonomian dan sekaligus bisa menjadi komoditi bisnis. Tanpa listrik, berbagai aktivitas akan ‘mati’. Sementara di lain pihak, keterbatasan pembangkitan dan ketidakmampuan PLN melakukan investasi, membuat perusahaan ini seolah semakin berada di persimpangan.
Upaya menjamin kelangsungan penyediaan listrik sulit dilakukan dengan kebijakan yang sentralistik, sehingga solusinya, Pemda perlu ikut memikirkan kelangsungan penyediaan tenaga listrik di daerah masing-masing. Untuk itu diperlukan iklim usaha yang kondusif agar tenaga listrik bisa menjadi penarik investasi di daerah.
Keikutsertaan dan dukungan Pemda itu meliputi pendanaan sebagai bantuan investasi, pentarifan dalam menentukan tarif lokal/regional kemudian penyediaan lahan dan perizinan.
Sedangkan masalah yang bakal timbul berkaitan dengan Otoda, yakni, national grid vs local grid, Tarif Dasar Listrik (TDL) vs Tarif Lokal, optimasi nasional vs optimasi lokal/regional. Juga soal perizinan, perpajakan dan retribusi, serta subsidi dan bantuan investasi.
Mengenai pelayanan pelanggan, Arifuddin Nurdin mengakui masalah yang sering dikeluhkan, antara lain pembacaan meter yang berakibat pada tagihan rekening, kecepatan pelayanan sambungan baru/penambahan daya, seringnya pemadaman, lamanya pemulihan gangguan, terjadi fluktuasi tegangan, fasilitas pelayanan dan sebagainya.
“Adanya keluhan mengindikasikan masih adanya gap antara kepuasan dengan harapan pelanggan. Padahal kewajiban PLN adalah meningkatkan pelayanan sebagai imbangan terhadap goodwill pelanggan yang membayar lebih mahal karena kenaikan TDL,” katanya.
PLN juga wajib mengumumkan setiap awal triwulan tentang indikator mutu pelayanan. Sebab apabila standar mutu yang berkaitan dengan lama gangguan dan atau jumlah gangguan serta kesalahan pembacaan meter melebihi 10% di atas nilai yang diumumkan, maka PLN diwajibkan memberikan pengurangan tagihan listrik kepada konsumen senilai 10% dari biaya beban.
Soal pernyataan auditor internasional Arthur Anderson beberapa waktu silam yang menyebut PLN tak efisien, menurut Arifuddin, Arthur boleh saja berkata seperti itu meski di lain pihak masih perlu dilakukan pendataan agar lebih jelas.
Dalam penilaian Arthur ketika itu, disebutkan bahwa dalam periode 1995-1998 telah terjadi in-efisiensi di tubuh PLN sebesar Rp 5,26 triliun/tahun. Tahun 1998 menjadi Rp 7 triliun.
Namun menurut mantan Ketua Tim EDP PT.PLN yang juga mantan GM PLN Sulselra Ir.Tunggono, dugaan in-efisiensi itu hanya 45% yang berada dalam kontrol PLN, sedangkan sisa 55 % lagi sama sekali berada di luar kontrol PLN.
Oleh karena itu, Tunggono menandaskan, melalui upaya restrukturisasi korporat, restrukturisasi keuangan, dan restrukturisasi TDL serta renegosiasi listrik swasta, in efesiensi uncontrolable tadi dapat diatasi.
Sementara in efisiensi uncontrolable akan ditangani dengan lebih baik, melalui Effisiency Drive Program di semua bidang melalui pendekatan grass root, tersistem dan berkesinambungan.
“Hasilnya akan dilaporkan secara rutin ke Departemen Keuangan,” ujar Tunggono.

Mengingatkan Insan PLN

Memang, apapun alasannya, temuan Athur Anderson tersebut telah mengingatkan segenap insan PLN bahwa kondisi itu tidak boleh lagi terjadi di masa depan.
Kini semangat efisiensi semakin menggelora di PLN. Setidaknya itulah yang tercermin dari Forum Efisiency Drive Program Regional Sumatera I yang berlangsung di Bukit Tinggi tanggal 24-25 Februari 2003 lalu.
Dari hasil forum itu juga, tak sedikit inovasi-inovasi efisiensi telah dilakukan unit-unit PLN, termasuk di Wilayah Sulselrabar. Di mana menurut Arifuddin Nurdin, selama empat tahun kepemimpinannya PLN wilayah ini telah berhasil menekan angka kerugian akibat pencurian listrik.
Cara yang dilakukan adalah dengan memasang ELCB (Earth Circuit Breaker) sebagai proteksi pencurian arus listrik yang menggunakan modus “Menonaktifkan penghantar netral PLN”, yang sering ditemukan. Selain itu, juga dilakukan upaya efisiensi melalui normalisasi sambungan rumah dan perubahan pola operasi JTM 20 kV.
Dengan melakukan inovasi ini, kata Arifuddin, beberapa cabang PLN berhasil memperbaiki losses teknis sisi tegangan rendah hingga di atas 2%. Sedangkan di sisi tegangan menengah dengan operasi loop tertutup dapat diper-baiki losses teknis hingga 1,8%.
Inovasi lain yang tak kalah menariknya, lanjut Arifuddin, adalah pemanfaatan tabung travo rusak 1 phase sebagai purifier yang dilakukan PLN di wilayah ini.
Pemanfaatan karya inovasi ini mampu menghasilkan saving Rp 66.5 juta untuk satu unit purifier baru mencapai Rp 75 juta. Sedangkan bila dibuat sendiri menggunakan tabung trafo rusak itu hanya membutuhkan biaya sekitar Rp 8.5 juta.
“Yang penting adalah bagaimana spirit efisiensi itu mampu mewarnai seluruh aktivitas kita di PLN,” papar Arifuddin seraya menyarankan bahwa agar PLN dapat lebih maju dan berkembang meski di tengah kondisi ekonomi yang memprihatinkan seperti sekarang, maka para pimpinan, manager senantiasa dapat melaksanakan ciri pembinaan yang meliputi; persuasif, kesabaran, kelembutan, kemampuan mengajar, pemahaman masalah, kepedulian (kebaikan), keterbukaan, mengakui kesalahan, konsisten dan integritas, sehingga karyawan dapat memiliki nilai-nilai transformasi yang biasa disingkat UBAH.
UBAH adalah singkatan dari usaha, belajar, andal, dan hebat.
Usaha yang gigih, yaitu usaha yang terus menerus untuk mencapai tujuan perusahaan. Belajar dengan tidak kenal lelah dan tidak mengenal istilah berhenti. Andal, dalam pengertian sikap pribadi yang ingin mentrasformasi dirinya menjadi lebih baik. Hebat dalam pengertian memiliki sikap untuk mengerjakan sesuatu yang lebih baik dari standard atau lebih dari sekedar menguasai pekerjaan (tugas) yang diberikan.
Kemudian yang tak kalah pentingnya, di perusahaan atau instansi mana pun, bahkan mungkin di PLN, isu ‘rebutan’ jabatan dengan istilah ‘tempat basah’ dan ‘tempat kering’ bukan sesuatu yang aneh.
Namun sepanjang hal itu dilakukan melalui persaingan sehat, tentu tidak ada masalah. Sebaliknya kalau persaingan itu dilakukan dengan ‘saling sikut’ dan menghalalkan segala cara, maka ini yang tidak boleh terjadi. Sebab pada gilirannya jabatan yang diraih itu bukan karena prestasi, melainkan karena ambisi.
Dan karena ambisi itulah, maka bukan mustahil seseorang bisa menyalahgunakan jabatannya, misalnya melakukan praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme dan lain-lain yang pada gilirannya dapat merugikan banyak pihak, termasuk perusahaan dan masyarakat. (Gunt Sumedi)
copyright@koranpwi, 9 Februari 2009

Mapilu PWI Sulsel Gelar Pembekalan Relawan Pemilu

Mapilu PWI Sulsel Gelar Pembekalan Relawan Pemilu

Pengurus Provinsi Masyarakat dan Persatuan Wartawan Indonesia Pemantau Pemilihan Umum (MAPILU PWI) Sulsel, belum lama ini, mengadakan pembekalan kepada 140 relawan di Sekretariat PWI Sulsel.
Pembekalan yang dihadiri Ketua PWI Sulsel H.Zulkifli Gani Ottoh, sejumlah pemimpin redaksi media massa, dan pihak penyelenggara Pemilu itu, dirangkaikan penandatanganan MoU dengan tiga Lembaga Swadaya Masyarakat, yakni LSM Lantiknal, Masyarakat Anti Penyalahgunaan Jabatan (MAPJ), dan Bantuan Komunikasi Sarana Informasi Gangguan Kamtibmas (Bankon Kamtibmas Singa) Sulsel.
Selain itu, juga dilakukan pelantikan sejumlah Pengurus Mapilu Tingkat Perwakilan PWI yang berkedudukan di beberapa kabupaten dan kota se-Sulsel.
Ketua Mapilu PWI Sulsel, A.Pasamangi Wawo dalam acara pencerahan meminta kepada pengurus dan relawan dalam melaksanakan tugas di lapangan agar tetap memperhatikan regulasi yang berlaku dan berkoordinasi dengan penyelenggara Pemilu.
Khusus kepada para pengurus LSM, ia mengharapkan adanya konsisten dan komitmen dalam mengawasi dan mengingatkan janji-janji para calon legislator.
A.Pasamangi Wawo menjelaskan, Mapilu PWI merupakan salah satu lembaga otonomi yang ada di PWI untuk ikut membangun demokrasi dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilu, baik kualitas pemilihnya maupun kualitas penyelenggaranya. (msa)
copyright@koranpwi, 9 Februari 2009


ketgam:
Ketua Mapilu PWI Sulsel A.Pasamangi Wawo (tengah), Wakil Ketua Mapilu, H. Mustakim Tinulu (kiri), serta Ketua PWI Sulsel H. Zukjifli Gani Ottoh, pada acara pencerahan dan pembekalan kepada relawan, di Gedung PWI Sulsel, belum lama ini. (foto: andi mahmud pallawa)

Polri Diminta Ambil Alih Kasus Upi Asmaradhana

Polri Diminta Ambil Alih Kasus Upi Asmaradhana

Dewan Pers meminta Mabes Polri mengambil alih penanganan sengketa antara wartawan Upi Asmaradana alias Jupriadi Asmaradhana dengan Kapolda Sulselbar, Irjen Pol. Sisno Adiwinoto.
Jika proses hukum terhadap Upi berlanjut, dikhawatirkan akan menimbulkan kesan Polda Sulselbar bersikap tidak adil, tidak independen, dan dapat menimbulkan benturan kepentingan.
Permintaan Dewan Pers ini termuat dalam Surat yang disampaikan kepada Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri, 23 Januari 2009. Surat tersebut sebagai bentuk keprihatinan Dewan Pers atas perkembangan sengketa antara sejumlah wartawan Makassar yang tergabung dalam Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers Makassar (KJTKPM) dengan Sisno Adiwinoto.
Sengketa ini muncul karena perbedaan dalam memahami bagaimana penyelesaian kasus berita pers terkait keberadaan Undang-Undang No.40/1999 tentang Pers dan KUHP. Akibat sengketa yang berlarut, salah seorang aktivis KJTKPM, Upi Asmaradhana, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sulselbar dengan dugaan melakukan pencemaran nama baik terhadap pribadi Sisno Adiwinoto sebagai pelapor.
Dalam surat ke Kapolri, Dewan Pers berharap sengketa ini dapat diselesaikan dengan mengedepankan musyawarah. Namun, jika upaya musyawarah tersebut tidak tecapai, Kapolri diminta dapat mengambil kebijaksanaan agar membatalkan status tersangka Upi Asmaradana.

Diserahkan ke Kejaksaan

Kasus pencemaran nama baik dan dugaan menfitnah oleh Upi Asmaradhana dengan pelapor Kapolda Sulselbar, Irjen Pol Sisno Adiwinoto, memasuki episode baru. Kasus yang bergulir pertengahan tahun lalu itu, kini kembali dilimpahkan ke Kejaksanaan Negeri Makassar. Sebelumnya, kasus tersebut sempat dikembalikan oleh pihak Kejati dengan alasan berkas masih perlu dilengkapi.
Pada Jumat, 30 Januari 2009, penyidik Kepolisian Daerah (Polda) Sulselbar menyerahkan berkas kasus Upi Asmaradhana ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Makassar.
Mantan Kontributor Metro TV Biro Makassar ini dikenakan tindak pidana atas tuduhan mengadu secara memfitnah dengan tulisan dan menghina dengan tulisan di muka umum, oleh pelapor yakni Kapolda Sulsel, Irjen Sisno Adiwinoto.
Upi dijemput oleh penyidik Polda Ajun Komisaris Anwar di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Makassar, dari sana mereka menuju kantor Kejati Sulsel ke Kejari Makassar. Koordinator Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers Makassar ini didampingi sejumlah pengacara antara lain Abraham Samad dan Ketua LBH Makassar Abdul Muthalib, serta sejumlah rekan-rekan wartawan.
Berkas perkara tindak pidana dari penyidik ini diterima oleh Kejari dengan tiga Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang akan menanganinya, masing-masing Nurni Parahyanti, Bambang Eka Jaya, dan I Wayang Eka Putra.
Awal kasus ini ketika Sisno sebagai Kapolda mengeluarkan beberapa pernyataan yang di-anggap tidak seharusnya dila-kukan seorang pejabat publik, di antaranya tidak perlu meng-gunakan hak jawab, dan warta-wan bisa langsung dipidanakan, dimana pernyataan Sisno ini sempat dimuat sejumlah media lokal di Makassar.
Hal ini tidak diterima sejumlah wartawan yang akhirnya membuat Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers Makassar yang dipimpin Upi, kemudian melakukan per-lawanan dengan unjukrasa dan penggalangan dukungan serta melaporkan Sisno ke Dewan Pers dan Kompolnas. Tindakan Upi dan rekan-rekannya ini tidak diterima Sisno, sehingga melaporkannya dengan tuduhan memfitnah dan mela-kukan pencemaran nama baik. (win/int)

17 Wartawan Tidak Lulus Ujian

17 Wartawan Tidak Lulus Ujian

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu, mengadakan Pendidikan Dasar Kewartawanan dan Pendidikan Lanjutan Kewartawanan, di Makassar.
Pelatihan Dasar diikuti 54 peserta, sedangkan Pelatihan Lanjutan diikuti 61 peserta. Para peserta adalah wartawan dari berbagai media cetak dan elektronik. Pelatihan diakhiri dengan ujian.
Peserta yang lulus ujian Pelatihan Dasar berhak mendapatkan sertifikat guna menjadi anggota muda PWI, sedangkan peserta yang lulus ujian Pelatihan Lanjutan berhak mendapatkan sertifikat guna meningkatkan statusnya dari anggota muda menjadi anggota biasa
Wakil Ketua Bidang Pendidikan PWI Sulsel yang juga Ketua Panitia, Syarief Usman, menjelaskan, secara keseluruhan peserta yang tidak lulus ujian berjumlah 17 orang, terdiri atas 13 peserta Pelatihan Dasar dan empat peserta Pelatihan Lanjutan
“Banyak peserta yang tidak menguasai Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Pers. Selain itu, ada juga peserta yang tidak tahu 5W+1H atau belum bagus caranya membuat berita,” ungkapnya.
Pelatihan Lanjutan diisi dengan materi Hukum dan Pers, Etika Media, dan Manajemen Pers, Teknik Penulisan Feature, Indept Reporting, serta Kapita Selekta Pers Mutakhir.
Pelatihan Dasar diisi dengan materi Teknik Mencari dan Menulis Berita (Asnawin, pelatih nasional wartawan PWI/Ketua Seksi Pendidikan PWI Sulsel), Sejarah Pers dan Kode Etik Jurnalistik (Dahlan Kadir, Pemimpin Redaksi SKU Tegas, Makassar / anggota DKD PWI Sulsel), UU Pers dan Delik Pers (Syahrir Makkuradde, Wakil Ketua PWI Sulsel Bidang Pembelaan Warta-wan), Jurnalistik Radio (Mustakim Tinulu, wartawan senior RRI Makassar), serta Jurnalistik Televisi (H Nur Syamsu Sultan). (FAM)
copyright@koranpwi, 9 Februari 2009

Kebebasan Pers untuk Kepentingan Rakyat

Kebebasan Pers untuk Kepentingan Rakyat

Kebebasan pers seharusnya diabdikan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Berbekal etika profesi yang bertanggungjawab, kita akan terus berupaya meningkatkan pengertian dan pemahaman bahwa kemerdekaan pers hakekatnya memang harus diabdikan kepada kepentingan rakyat.
Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Margiono, dalam acara ramah tamah dengan pimpinan media di Gedung Dewan Pers di Jakarta, Kamis, 22 Januari 2009, mengatakan, “freedom for” layak untuk terus diperjuangkan pers nasional sebagai wujud tanggungjawab dan pengabdian kepada kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.
“Kemerdekaan Pers Dari dan Untuk Rakyat” ditetapkan sebagai tema Hari Pers Nasional (HPN) 2009 dengan kesadaran penuh bahwa di tengah-tengah keadaan dunia yang terus bergolak, kondisi bangsa yang masih memprihatinkan, serta fragmentasi permasalahan yang sangat beragam, maka keberpihakan kepada kepentingan rakyat harus menjadi pilihan.
Ketua Pelaksana Panitia Pusat HPN 2009, Marah Sakti Siregar, mengatakan bahwa ada tiga acara penting dalam rangkaian peringatan HPN 2009 pada 7-9 Februari 2009 dan dipusatkan di Jakarta.
Tiga acara penting HPN 2009 yaitu pertama, Konvensi Media Massa se-Indonesia ke-6 pada 8-9 Februari 2009 di Hotel Atlet Century, yang merupakan acara evaluasi tahunan para tokoh dan pimpinan pers nasional menghadapi berbagai masalah strategis baik makro nasional maupun mikro pers.
“Ada tiga topik bahasan pada konvensi yaitu Arsitektur Ekonomi Nasional Ditengah Krisis Ekonomi Global, Idealisme Pers Ditengah Canggihnya Teknologi Media dan Peran Media Dalam Menciptakan Pemilu Legislatif dan Pilpres 2009 Secara Berkualitas,” kata Marah Sakti.
Acara HPN 2009 yang kedua yaitu bakti sosial yang akan dilaksanakan pada 8 Februari 2009 berupa donor darah dan deteksi dini gagal ginjal, serta gerak jalan.
Acara ketiga adalah “Malam Pers Perjuangan” yang digelar pada 9 Februari 2009 di Tennis Indoor Senayan, yang akan diisi dengan penyerahan Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2008, dan deklarasi bersama penjaminan kebebasan pers, serta acara hiburan yang melibatkan Tukul Arwana bersama Luna Maya.
Anugerah Jurnalistik Adinegoro, yang merupakan penghargaan tertinggi dari PWI Pusat atas karya jurnalistik di bidang pembangunan nasional, kali ini ada dua kategori bertema “Kemanusiaan, dan Demokrasi.”
Lomba penulisan karya jurnalistik tersebut terbuka bagi seluruh wartawan warga negara Indonesia (WNI) dan ma-sing-masing kategori berhadiah senilai Rp 50 juta. (ant)

Wina Armada: Ini Angin Segar

Wina Armada:
Ini Angin Segar


Anggota Dewan Pers, Wina Armada, meminta Ketua Pengadilan Tinggi (PT) dan Pengadilan Negeri (PN) seluruh Indonesia mensosialisasi surat edaran Mahkamah Agung yang menganjurkan majelis hakim mendengarkan keterangan saksi ahli dari Dewan Pers.
Para hakim diminta mematuhi surat edaran tersebut, karena selama ini sebagian besar kasus yang menyangkut delik pers divonis tanpa mendengarkan keterangan dari ahli dari Dewan Pers.
“Semoga surat edaran ini diperhatikan para hakim,” ujarnya.
Wina mengatakan Dewan Pers sangat menghargai kebijakan Mahkamah Agung yang mengeluarkan surat edaran itu. Dia meminta agar sengketa pemberitaan diselesaikan melalui mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Pers.
“Kali ini Mahkamah Agung memberi angin segar bagi kebebasan pers,” ujarnya.
Dia menilai, selama enam bulan ini Mahkamah Agung mengambil langkah-langkah yang mendukung kebebasan pers. Wina mencontohkan, Mahkamah telah memasukkan kurikulum kemerdekaan pers dalam pelatihan dan pendidikan untuk hakim.
Andi Samsan Nganro, hakim tinggi Jakarta, juga menyambut baik. Menurut dia, permintaan keterangan saksi ahli dari Dewan Pers dalam menangani sengketa pers sudah seharusnya dilakukan. Perlunya keterangan Dewan Pers sekaligus untuk menguji perihal sengketa pemberitaan.
“Jangan hanya dari KUHP an sich, tapi perlu menilai dari Undang-Undang Pers dan keterangan ahli dari Dewan Pers,” ujarnya. (win/int)

MA Minta Hakim Libatkan Dewan Pers

MA Minta Hakim Libatkan Dewan Pers

Wartawan Indonesia mendapat kado istimewa dari Mahkamah Agung (MA). Kado tersebut berupa Surat Edaran untuk para hakim di daerah berkaitan dengan banyaknya sengketa pemberitaan yang masuk pengadilan.
Mahkamah Agung meminta para hakim mengundang saksi ahli dari Dewan Pers setiap kali akan memutuskan kasus yang menyangkut delik pers.
“Karena mereka (Dewan Pers) paling tahu seluk-beluk pers secara teori dan praktek,” kata Ketua Mahkamah Agung, Harifin A. Tumpa, saat berdialog dengan perwakilan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), di Jakarta, pertengahan Januari 2009.
Surat edaran bertanggal 30 Desember 2008 itu telah disebarkan ke semua ketua pengadilan tinggi dan pengadilan negeri.
Keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, kata Harifin, penting agar para hakim mendapatkan gambaran objektif tentang ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dalam menangani perkara pers, Mahkamah Agung sebenarnya telah mengedepankan mekanisme penggunaan hak jawab seperti diatur Undang-Undang Pers. Masalahnya, Mahkamah tidak bisa langsung memerintahkan para hakim di daerah menggunakan Undang-Undang Pers.
“Karena setiap hakim memiliki kebebasan dan independensi,” kata Harifin.
Yang bisa dilakukan Mahkamah Agung, adalah memberi contoh para hakim melalui putusan-putusan di tingkat kasasi. Harifin mencontohkan dua putusan Mahkamah Agung atas gugatan perdata yang diajukan pengusaha Tomy Winata terhadap majalah Tempo dan Koran Tempo.
Dalam kedua kasus itu, Pengadilan Negeri memu-tuskan Tempo kalah. Tapi Mahkamah Agung kemudian mengukuhkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memenangkan Tempo. Salah satu pertimbangannya, dalam mengadili perkara ini hakim Pengadilan Negeri tidak memakai Undang-Undang Pers.
“Kami berharap para hakim menjadikan putusan di tingkat kasasi itu sebagai acuan,” ujar Harifin.
Hambatan lain bagi hakim di daerah, katanya, terdapat dalam kelemahan Undang-Undang Pers itu sendiri. Dia menilai undang-undang yang disahkan pada awal era reformasi itu tak mengatur secara detail mekanisme penyelesaian perkara serta sanksi pidananya.
Agar bisa lebih melindungi pers dan kepentingan masyarakat, Undang-Undang Pers perlu diperbaiki.
“Sebaiknya organisasi seperti AJI mendorong revisi Undang-Undang Pers,” kata Harifin.
Ketua Umum AJI, Nezar Patria, berharap surat edaran yang baru dikeluarkan Mahkamah Agung bisa menjadi rujukan bagi para hakim di seluruh Indonesia. Aliansi Jurnalis menilai surat edaran tentang saksi ahli kasus pers itu sebagai terobosan penting.
“Agar pengadilan bisa memutuskan sengketa pers dengan lebih adil sesuai dengan amanat Undang-Undang Pers,” kata Nezar. (win/int)

Wartawan atau Wartawang?

Wartawan atau Wartawang?

Saya pernah mewakili Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Sulawesi Selatan menghadiri pertemuan konsultasi dengan sejumlah anggota Komisi I DPR-RI, di Ruang Rapat Pimpinan Gubernur Sulsel.
Pertemuan itu cukup penting, karena pembicaraan menyangkut hajat hidup orang banyak, yakni sosialisasi RUU Peradilan Umum Militer. Bukan itu saja, yang hadir juga banyak orang “penting” di negara kita, seperti Letjen TNI Purn. Yunus Yosfiah.
Dalam pertemuan “setengah” rapat itu hadir sejumlah akademisi, tokoh masyarakat, perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan sejurnlah wartawan.
Yang menarik, seorang di antara hadirin memperkenalkan diri sebagai seorang wartawang. Saya terhenyak. Kaget bercampur malu. Bagaimana mungkin ada seorang rekan wartawan menyebut profesinya dengan kata wartawang. Orang Makassar bilang, okkot ki, karena kelebihan “vitamin G”.
Dalam kamus bahasa Indonesia karya Purwadarminta, warta diartikan sebagai berita, sedangkan akhiran “wan” dan “man” berarti lelaki yang mempunyai, sementara “wati” berarti perempuan yang mempunyai.
Dengan demikian, wartawan berarti lelaki yang mempunyai berita, sedangkan wartawati berarti perempuan yang mempunyai berita.
Lalu apa arti kata wartawang? Warta artinya berita, sedangkan “wang” mungkin berarti uang, yang dalam bahasa Makassar disebut doe’. Kalau digabung berarti berita uang.
Saya kemudian berkesimpulan bahwa rekan tadi hanya sa-lah sebut alias okkot ki. Namun ketika acara pertemuan “penting” itu sudah ber-akhir, orang yang mengaku “wartawang” itu tampak sibuk. Saya mendengar ia bertanya, mengapa tidak ada angpao-nya dan mengatakan tidak mungkin acara penting yang dihadiri anggota DPR RI itu tidak ada angpao-nya.
Mendengar ucapannya, saya akhirnya berkesimpulan bahwa ia benar-benar seorang “wartawang”, karena bukan hadir untuk mencari berita, melainkan memang untuk mencari uang atau berita yang “berbau uang.” (A Pasamangi Wawo, Wakil Ketua PWI Sulsel)
copyright@koranpwi, 9 Februari 2009

Jumat, Februari 06, 2009

Warning Bagi Media Cetak

Warning Bagi Media Cetak

Hadir dan berkembangnya media online (internet) merupakan warning bagi media cetak. Bukan tidak mungkin, media cetak akan sulit mendapatkan tempat dan akhirnya mati jika kurang kreatif dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi.
Perkembangan teknologi komunikasi yang begitu cepat membuat masya-rakat lebih mudah mencari dan menemukan informasi melalui media online dibandingkan melalui media cetak.
Di negara-negara maju dan di kota-kota besar, masyarakat sudah lebih sering dan lebih senang membaca berita melalui media online ketimbang media cetak.
Ketua Dewan Kehormatan Daerah Persatuan Wartawan Indonesia Cabang Sulawesi Selatan, H Syamsu Nur, mengatakan, di Taiwan, sebuah negara kepulauan yang cukup maju, media cetak seperti koran dan majalah tidak lagi dijual, tetapi dibagikan secara gratis.
“Itu karena semua penduduknya sudah mahir menggunakan komputer dan umumnya bisa internet. Semua wilayahnya pun sudah hot-spot, internet dapat diakses secara gratis,” ungkapnya saat memba-wakan materi “Kapita Selekta Pers Mutakhir”, pada Pelatihan Lanjutan Kewartawanan di Press Club Gedung PWI Sulsel, Makassar, beberapa waktu lalu.
Untuk mengantisipasi kemajuan dan perkembangan tersebut, lanjut Syamsu Nur, media cetak harus dipadukan dengan media online. Artinya, perusahaan media cetak (tabloid, koran, dan majalah) harus juga membuat berita versi online, sehingga berita-beritanya selain dapat dibaca melalui media cetak, juga bisa diakses melalui versi online.
Sekretaris Panitia, Asnawin, menjelakan, pelatihan yang diselenggarakan oleh PWI Sulsel itu juga menampilkan Ronald Ngantung (wartawan senior dan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Tribun Timur Makassar) dengan materi Indept Reporting
Selain itu, Burhanuddin Amin (Sekretaris DKD PWI Sulsel/pemilik beberapa media cetak di Makassar) dengan materi Hukum dan Pers, HL Arumahi (Ketua Bidang Organisasi PWI Sulel/Pemimpin Umum Tabloid Jurnal Intim) dengan materi Manajemen Pers), serta Dahlan Kadir (Pemimpin Redaksi SKU Tegas Makassar) dengan materi Etika Pers.
Sehari sebelumnya juga dibuka Pelatihan Dasar Kewartawanan PWI Sulsel, dengan materi antara lain Teknik Men-cari dan Menulis Berita oleh Asnawin (pelatih nasional wartawan PWI/dosen mata kuliah jurnalistik), Sejarah Pers dan Kode Etik Jurnalistik oleh Dahlan Kadir (Pemimpin Redaksi SKU Tegas Makassar), UU Pers dan Delik Pers oleh Syahrir Makkuradde (Wakil Ketua PWI Sulsel Bidang Pembelaan Wartawan), serta Jurnalistik Radio oleh Mustakim Tinulu dari RRI Makassar.
Ketua Panitia, Syarief Usman, mengatakan, pelatihan dasar yang diikuti 54 peserta dilaksanakan dengan tujuan memberikan pengetahuan dasar jurnalistik kepada wartawan pemula dan calon anggota PWI Sulsel, sedangkan pelatihan lanjutan yang diikuti 61 peserta bertujuan memberikan penyegaran dan menambah wawasan para wartawan anggota PWI Sulsel. (FAM)

SKU Tegas Rayakan Ultah ke-42

SKU Tegas Rayakan Ultah ke-42

Surat Kabar Umum Tegas, Makassar, merayakan ulang tahunnya yang ke-42 dalam sebuah acara sederhana di Press Club PWI Sulawesi Selatan, Ahad, 1 Februari 2009. Peringatan ulang tahun yang dihadiri puluhan wartawan dan sejumlah undangan itu dirangkaikan dengan Pencerahan kepada Wartawan dan Rapat Kerja.
Ketua PWI Sulsel, Zulkifli Gani Ottoh dan sejumlah pemimpin media mengucapkan selamat kepada Pimpinan Umum SKU Tegas Iskandar Agung DL, dan Pimpinan Redaksi M Dahlan Kadir, atas pencapaian usia 42 tahun koran tersebut.
Dalam ulang tahunnya kali ini, SKU Tegas mencanangkan tema “Menerobos Tantangan”.
Untuk menerobos tantangan, Ketua PWI meminta kepada pengelola dan wartawan SKU Tegas agar berupaya menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan yang ada.
Persaingan antar-media, katanya, sangat ketat apalagi dengan semakin canggihnya teknologi informasi dan komunikasi.
“SKU Tegas sudah banyak melahirkan wartawan andal dan saya berharap koran ini mampu menerobos tantangan agar mampu tetap eksis dalam persaingan antar-media,” ujar Zulkifli.
Sebelum menutup sambutannya, dia mengingatkan para pengelola dan wartawan SKU Tegas agar tetap konsisten dengan mottonya; “menegakkan keadilan dan kebenaran” sebagaimana dicanangkan pendirinya, almarhum H Syamsuddin DL yang juga mantan Ketua PWI Sulsel.
Pimpinan Umum SKU Tegas Iskandar Agung juga meminta kepada para wartawan agar tetap berupaya meningkatkan kualitas dan mengembangkan penerbitan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat.
Seusai acara ulang tahun, para wartawan dan karyawan mengikuti Acara Pencerahan yang menampilkan tiga pembicara, yakni Arumahi (Wakil Ketua PWI Sulsel), Ronald Ngantung (Wapemred Harian Tribun Timur, Makassar), dan M Dahlan Kadir (Pemred SKU Tegas/anggota Dewan Kehormatan Daerah PWI Sulsel)
Pimpinan Redaksi Tegas Dahlan Kadir, hari itu juga memaparkan pada sejumlah cruewnya agar dalam mencari informasi maupun menuangkan berita tetap berlandaskan dengan Undang Undang No 40 serta kode etik Jurnalistik. Ini untuk menghindari terjadinya delik pers dari obyek berita.
Ronald Ngantung yang hari itu memberikan pembekalan pada sejumlah wartawan Tegas menekankan agar SKU Tegas bersama cruewnya tidak takut dengan kondisi industri informasi di era Globalisasi. Alasannya Surat Kabar apapun sama fungsinya baik harian maupun mingguan serta bulanan. Persoalannya yang menantang, bagaimana materi berita harus selalu berupaya dekat dengan kebutuhan masyarakat. Kualitas berita hendaknya juga menjadi perhatian dan diupayakan sebagai Koran local memperbanyak berita investigasi. “Banyak kunci sukses koran local, namun tiga hal di atas ini yang utama,“ jelasnya.
Sementara H. Arumahi yang juga wakil Ketua PWI Sulsel, memberikan penekanan agar dalam rangkaian mempertahankan kontinuitas penerbitan Tegas, diharapkan seluruh jajaran hendaknya terus meningkatkan volume koordinasi antara redaksi dan wartawan daerah. Hal ini penting guna menjalin kerjasama materi dan program pemberitaan.
Acara ditutup dengan tampilnya Ahmadi Haruna membacakan puisi- puisi terbarunya, antara lain berjudul Caleg dan Massa. (FAM)

Ketgam:
Pemimpin Redaksi SKU Tegas, M Dahlan Kadir (kanan) didampingi moderator H Djabbar Tanro, saat membawakan materi pada acara Pencerahan. (foto: A. Iskandar)

Pers Diminta Kawal Proses Demokrasi

Pers Diminta Kawal Proses Demokrasi

Kalangan pers nasional diminta terus mendukung upaya memajukan proses demokrasi yang terus dijalankan di negeri ini, antara lain dengan membantu proses pemilu yang berlangsung tahun ini. Pers diminta mengawal proses Pemilu yang sedang berlangsung dan membuatnya lebih maju lagi.
Permintaan itu dikemukakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat bertemu dengan sejumlah tokoh pers nasional, di Kantor Presiden Jakarta, Kamis, 29 Januari 2009, seperti dituturkan Juru Bicara Presiden Andi Mallarangeng yang menjelaskan isi pertemuan tersebut.
Menurut Presiden, pers sebagai salah satu pilar pembangunan bangsa memiliki posisi yang sangat strategis untuk menjaga proses demokrasi dengan membuat kualitas pemilihan umum (pemilu) pada tahun ini menjadi semakin baik.
“Pers bisa membantu proses pendidikan politik seperti dengan mensosialisasikan proses Pemilu, misalnya tata cara Pemilu, atau proses mencontreng dan sebagainya,” kata Andi mengutip pernyataan Presiden Yudhoyono.
Kalangan pers yang hadir, menurut Andi, menyambut baik ajakan Presiden tersebut, dan hal itu telah dan akan terus dilakukan agar pelaksanaan pemilu bisa berjalan dengan baik dan memperkuat sendi-sendi demokrasi bangsa.
Dalam kesempatan itu, Presiden juga menyatakan akan hadir dalam acara puncak “Malam Pers Perjuangan” yang menandai perayaan Hari Pers Nasional (HPN) pada 9 Februari 2009 di Stadion Tenis Tertutup Senayan dengan tema “Kemerdekaan Pers untuk Rakyat.”
Tokoh pers nasional yang bertemu dengan Presiden, antara lain Margiono (Ketua Persatuan Wartawan Indonesia/PWI, selaku Ketua Panitia Pusat HPN 2009), Marah Sakti Siregar (Ketua Pelaksana Panitia Pusat HPN), Ishadi Sk (Penasehat Panitia Pusat HPN), Bambang Harymurti (Anggota Dewan Pers), dan Asro Kamal Rokan (Penasehat Panitia Pusat HPN). (ant)

Keterangan gambar:
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjawab pertanyaan wartawan. Presiden meminta pers nasional terus mendukung upaya memajukan proses demokrasi yang terus dijalankan di negeri ini. (int)

Surat Edaran MA, Darah Segar Penanganan Delik Pers

Kita semua maklum bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam pasal 28 Undang-undang Dasar 1945, harus dijamin.

Catatan Pemilukada Makassar 2008

Catatan Pemilukada Makassar 2008

Oleh: H Zulkifli Gani Ottoh SH


Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah) Kota Makassar harus sukses! Itulah tekad KPU Kota Makassar seba-gai lembaga penyelenggara Pemili-han Umum untuk memilih Waliko-ta dan Wakil Walikota Makassar masa bakti 2009-2014 yang dilaksanakan pada 2008.
Suatu perjuangan yang cukup berat menjalankan amanah demok-rasi saat masyarakat sedang ber-ada dalam suasana resesi ekono-mi, menjelang dimulainya pesta demokrasi Pemilu Legislatif, serta Pemilu Presiden/Wapres, dan ada-nya kejenuhan masyarakat, karena kesibukan Pemilihan Gubernur/Wagub baru saja usai.
Lebih istimewa lagi, peserta tak hanya terdiri atas unsur partai politik, melainkan juga perseorangan.
KPU Kota Makassar berupaya mengoptimalkan pendataan dan pendaftaran pemilih, agar se-tiap pemilih dapat menggunakan hak pilihnya sesuai asas Pemilu, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Masalahnya, sumber database pendaftaran pemilih berupa DP4 (Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu) yang diterbitkan oleh Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan, tidak akurat. Masalah lain, tingkat partisipasi warga Makassar masih rendah.
Meskipun regulasi pen-daftaran pemilih menganut sistem ‘Pendaftaran Aktif”, namun dalam kenyataannya KPU bersama jajar-annya, PPK, dan PPS yang harus proaktif melakukan pendaftaran pemilih dan menjadi sasaran tudingan apabila ada warga yang tidak terdaftar sebagai Pemilih.
KPU Kota Makassar ber-tekad meningkatkan angka partisi-pasi politik masyarakat terutama dalam hal panggunaan hak pilih, meskipun hasilnya belum signifi-kan, yakni 58,34%. Pada Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan Tahun 2007, tercatat, 54,24%. Upaya yang dilakukan antara lain, optimalisasi pemutakhiran data pemilih dan sosialisasi.
Menyangkut calon yang bertarung dalam Pemilukada Makassar 2008, masyarakat Kota Makassar patut berbangga, karena untuk pertama kalinya memilih walikota dan wakil walikota secara langsung yang diikuti pula oleh calon perseorangan atau independen.
Hal ini, tentu menjadi nilai tersendiri, karena masyarakat disuguhi banyak alternatif. Tantangannya, di saat tahapan pelaksanaan Pemilukada berlangsung, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk membolehkan calon perseorangan ikut dalam Pemilukada.
Akhirnya, KPU Makassar dalam waktu yang singkat harus melakukan penyesuaian tahapan setelah menerima petunjuk teknis dari KPU maupun pedoman berdasarkan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang revisi kedua atas Undang Undang Nomor 32 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam jangka waktu yang relatif singkat, KPU Makassar dan jajarannya sampai ke tingkat PPS dan PPK harus melakukan verifikasi sekitar 188.357 lembar fotokopi identitas bukti dukungan untuk empat pasangan calon perseorangan.
KPU Makassar kemudian memutuskan meloloskan tiga pasangan calon dari unsur perseorangan, karena dianggap memenuhi persyaratan dukungan minimal tiga persen dari total penduduk Makasssar atau setara dengan 39.306 jumlah dukungan.
Dalam proses implemen-tasi tahapan Pemilukada selanjut-nya, KPU Kota Makassar meng-anggap relatip sukses tanpa ham-batan yang berarti, mulai dari pro-ses kampanye sampai pemungut-an suara. Namun, disaat proses rekapitulasi hasil penghitungan suara di TPS rampung sampai pada tingkat PPK, KPU Kota Makassar mendapat berbagai tanggapan. Beragam kelompok mendatangi KPU Kota Makassar dengan bermacam aspirasi. Intinya, mempertanyakan kinerja KPU Kota Makassar dalam melaksanakan tahapan Pemilukada. Tudingan ketidaknetralan Anggota KPU, sampai gugatan atas urusan logistik dianggap sebagai penyebab kekalahan calon tertentu. Namun, bagi KPU Kota Makassar hal ini menjadi tanggungjawab yang harus dihadapi. Akhirnya permasalahan ini, berujung pada digugatnya KPU Kota Makassar di Mahkamah Konstitusi oleh empat pasangan calon yang kalah.
KPU Kota Makassar selaku ter-mohon, harus menghadiri persidangan MK di Jakarta didampingi Tim Kuasa Hukumnya. Dengan keyakinan bahwa telah melaksanakan tugas sesuai de-ngan aturan yang ada, KPU Kota Makassar harus membawa setidaknya delapan koper besar berisi bukti-bukti dokumen rekapitulasi penghi-tungan suara di TPS dan PPK ke Jakarta. Berkat perjuangan keras KPU Kota Makassar, akhirnya MK memutuskan untuk menolak gugatan sengketa Pemilukada Makassar 2008 ini.
Gambaran pelaksanaan Pemilukada tersebut di atas, setidaknya menjadi bukti bahwa kami telah sukses mengantar warga Kota Makassar menentukan pilihannya. Walau disadari bahwa pelaksanaan Pemilukada ini tetap memiliki sisi kelemahan.- (Zulkifli Gani Ottoh adalah mantan Ketua KPU Kota Makassar)

Wartawan Instan


SELAMAT TINGGAL. Julukan “kuli tinta” bagi wartawan mungkin tidak tepat lagi. Teknologi informasi dan komunikasi yang serba canggih telah mengubah cara kerja wartawan seratus delapan puluh derajat. Pers memang kini telah memasuki era industrialisasi. Maka selamat tinggal "pers perjuangan." (Foto: http://www.nyunyu.com)

Saatnya TVRI Sulsel Berbenah Diri

Saatnya TVRI Sulsel Berbenah Diri

Oleh: H Syarief Usman

Sejak lahirnya tahun 1962 lalu, perjalanan panjang dan berliku telah dilalui TVRI. Mulai dari era Orde Lama, era Orde Baru, hingga saat ini memasuki era reformasi yang ditandai dengan era demokratisasi dan kebebasan pers.
Diawali sebagai bagian dari Komando Urusan Pembangunan ASIAN-GAMES, status TVRI terus mengalami perubahan melalui berbagai kebijakan pemerintah.
Bermula dengan Keputusan Presiden Nomor 215 tahun 1963, status TVR1 berubah menjadi Yayasan TVRI, selanjutnya berubah lagi menjadi perusahaan jawatan (Perjan) TVRI.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2000, TVRI beralih status menjadi perseroan terbatas. PT. TVRI pun disandangnya. Kemudian terakhir status TVRI kembali berubah menjadi televisi publik sesuai melalui amanat Undang-undang Penyiaran Nomor 32 tahun 2002.
Keberadaan TVRI yang sekarang menjadi televisi publik, mengharuskan segenap jajarannya untuk memanfaatkan peluang sekaligus tantangan untuk menampilkan tayangan atau program yang bermanfaat untuk kepentingan publik secara keseluruhan.
Hal ini terkait dengan fungsi lembaga penyiaran yang merupakan media komunikasi massa yang mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial budaya, politik, dan ekonomi yang memiliki kebebasan dan tanggung jawab dalam menjalankan fungsiya sebagai media informasi, hiburan, serta kontrol sosial, dan sekaligus sebagai perekat bangsa.
Demikian pula program TVRI harus terhindar dari hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan, memancing emosi negatif, sadisme, tidak mendidik, melanggar etika, dan norma agama.
Peralihan status TVRI menjadi televisi publik memiliki kewenangan otonom yang lebih mandiri, meskipun untuk sementara masih terbawa opini masyarakat terhadap eksistensinya di masa lalu.
Diakui, TVRI memang memerlukan waktu yang lama untuk menghapus citra historisnya sebagai “corong pemerintah”. Hal itu terkait masa Orde Baru dulu. Namun sekarang TVRI sebagai televisi publik, harus tampil beda, baik dalam format tayangan maupun isi siarannya.
Kreativitas pengelola benar-benar dituntut untuk menghasilkan program yang berpihak kepada publik dalam bentuk kemasan yang menarik dan enak ditonton oleh segenap pemirsa.
Isi siaran harus dikaji dengan cermat dan dicari kelemahannya terutama sajian siaran yang tidak memihak kepada kepentingan publik. Hal ini memerlukan semacam survei agar diperoleh apa yang diinginkan oleh publik dan hal apa yang ingin diketahui masyarakat luas.
Contohnya tayangan berita atau informasi yang kadang monoton, tayangan acara-acara seremonial dikurangi, dan berita yang sudah basi agar diubah formatnya.
Tayangan berita atau informasi yang diinginkan oleh masyarakat adalah tayangan intelektual dan laporan langsung dari tempat kejadian (live reporting on the spot).
Diakui salah satu kelemahan yang dimiliki TVRI yaitu masih beroperasi pada frekuensi VHF (very high frequency) dengan sistem analog, sementara televisi swasta beroperasi pada frekuensi UHF (ultra high frequency) dengan peralatan studio seluruhnya digital.

TVRI Sulawesi Selatan

Sejak 7 Desember 1972, masyarakat Makassar dan sekitarnya telah dapat menyaksikan siaran televisi dengan hadirnya TVRI Stasiun Ujung Pandang.
Perjalanan lebih dari empat dekade yang dilalui TVRI Sulawesi Selatan telah mengalami pergantian pimpinan sebanyak 13 kali. Bermula dari Kepsta pertama Alex Leo Zulkarnaen sampai dengan Kepsta sekarang Drs. Nursyamsu Sultan.
Begitu pula dengan sebutannya, TVRI Stasiun Ujung Pandang berganti menjadi TVRI Stasiun Makassar, dan sekarang berubah lagi menjadi Lembaga Penyiaran Publik LPP-TVRI Sulawesi Selatan media sipakainga, sampai sekarang berjalan dengan baik.
Organisasi manajemen, demikian pula dengan pelatihan, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia, tetap berlangsung sejalan dengan tuntutan organisasi dalam dinamika penyiaran.
LPP-TVRI Sulawesi Selatan sebagai televisi publik merupakan wadah penyaluran aspirasi masyarakat di daerah ini. Oleh karena itu, segenap unsur pemerintah daerah, pengusaha, seniman, akademisi, lembaga pendidikan, dan budayawan merupakan stakeholders yang sangat menentukan keberadaan TVRI Sulawesi Selatan.
Statusnya sebagal televisi publik mengharuskan TVRI Sulawesi Selatan menampilkan tayangan yang bermanfaat bagi kepentingan publik secara keseluruhan yang meliputi program. dana operasional, jaringan relay, jam tayang, dan sumber daya manusia (SDM).
Setelah menjadi televisi publik, hendaknya TVRI Sulawesi Selatan memiliki kewenangan untuk mampu lebih mandiri dan netral. Harus ada penataan program yang berorientasi pada muatan lokal daerah Sulawesi Selatan dalam kemasan paket siaran yang lebih spesifik dan berbiaya rendah.
Salah satu kendala yang dihadapi TVRI Sulawesi Selatan dalam mengembangkan materi siarannya adalah terbatasnya dana operasional, sementara sumber pendanaan yang ada terasa masih kurang, seperti yang berasal dan iuran penyiaran, APBN, sumbangan masyarakat, iklan dan usaha lain yang terkait dengan penyelenggaraan siaran.
Selain itu, beberapa langkah yang dapat ditempuh yaitu memperbaiki kualitas penerimaan TVRI Sulawesi Selatan dengan mengubah sistem terestorial dengan sistem microwave link memanfaatkan satelit.
Di bidang sumber daya manusia, TVRI Sulawesi Selatan terbilang memiliki sumber daya yang memadai. Saat ini masih terdapat sekitar 300 karyawan yang merniliki berbagai keahlian penyiaran yang handal dan berpengalaman.
Dengan rneningkatnya pro-duksi, sumber daya yang cukup besar ini dihadapkan pada tantangan dan kesempatan untuk menampilkan paket siaran yang bermutu, seperti menampilkan acara-acara yang berorientasi kepada masyarakat pemirsanya.
Segenap karyawan TVRI hendaknya mengubah paradigma birokrasi pegawai negeni sipil ke arah yang lebih produktif, kreatif, inovatif, dan berpikir broadcast sejati.
Dengan adanya status ini, tentunya segenap insan TVRI khususnya penyelenggara sejak awal sudah harus rnempersiapkan daya dan upaya melaksanakan amanat melalui dedikasi dan pengabdian sebagai pegawai negeri sipil, yang juga insan-insan broadcaster profesional yang bertanggung-jawab. ** (Syarief Usman adalah Wakil Ketua PWI Sulsel Bidang Pendidikan)

Surat Edaran MA Tentang UU Pers

Surat Edaran MA Tentang UU Pers

Oleh : Gunt Sumedi

Kontroversi penggunaan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers pada setiap terjadinya gugatan atau keberatan sebagai akibat pemberitaan pers, terjawab sudah. Itu setelah Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran yang disampaikan kepada para hakim se-Indonesia, agar para hakim tersebut senantiasa mengedepankan UU Pers dalam setiap penanganan kasus sengketa pers atau perkara jurnalistik.
Namun tentu saja setelah melalui penelitian apakah karena kekeliruan etik ataukah karena perbuatan melawan hukum. Ini merupakan kabar gembira dan langkah maju bagi dunia kewartawanan di Indonesia.
Setiap ada perkara terkait dengan pers, MA meminta pengadilan menghadirkan Dewan Pers sebagai saksi ahli. Aturan ini dituangkan dalam Surat Edaran MA No. 14 tanggal 30 Desember 2008.
Keberpihakan MA terhadap UU Pers tersebut memang telah dibuktikan saat MA memutus dengan mempertimbangkan UU Pers dalam kasus Bambang Harymurti (Pemred Koran Tempo) melawan Tomy Winata. Dalam pertimbangan putusan tersebut, dipertimbangkan bahwa unsur perbuatan melawan hukum pemberitaan Koran Tempo belum terpenuhi sebelum prosedur Hak Jawab dilakukan sebagaimana tercantum dalam UU Pers.
Surat Edaran MA menyebutkan bahwa dalam penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik pers, hendaknya majelis hakim mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, karena merekalah yang lebih mengetahui tentang seluk beluk pers secara teori dan praktek.

Ibarat Baju Tua

Berbicara tentang perkem-bangan Pers Indonesia, tidak sedikit yang mengibaratkan sebagai baju tua yang tambal sulam. Sebagai institusi yang diadaptasi dari tatanan budaya liberalisme-kolonialisme abad ke-18, pers di Indonesia pada mulanya muncul dan mencuat sebagai sosok partisan. Pers melahirkan patriotis, mujahid, pejuang, hero, dan para nasionalis.
Pers perjuangan adalah ciri dan citra bahkan obsesi para wartawan yang lahir pada era pra kemerdekaan. Bekerja sebagai wartawan menjadi pilihan terbaik para idealis. Sampai pada suatu ketika pers pertama kali menemukan sosoknya dalam suasana liberalisme di era 50-an, di mana kebebasan menjadi obsesi dan tujuan.
Sama seperti sekarang, saat itu istilah pembredelan dianggap tidak populer. Namun wartawan sempat mendapat pelajaran berharga ketika salah seorang wartawan senior, Asa Bafaqih, dipengadilankan karena suatu kasus delik pers.
Pada perkembangan selanjutnya, yakni sekitar tahun 60-an, ketika pers dan wartawan terjebak pada pergulatan politik yang sentralistis dan sistem pemerintahan yang semi diktator, obsesi kebebasan yang baru dimiliki ketika itu, terpaksa harus ditebus dengan pembredelan tanpa ada yang harus diuji kesalahannya di depan pengadilan, sebagaimana yang dialami Asa Bafaqih.
Namun seiring pergantian pemeran panggung kekuasaan berikutnya, obsesi pers pun bangkit kembali bersamaan mencuatnya peran dan dinamika kalangan intelektual. Bebas, kritis, sportif, dan bertanggung jawab menjadi citra baru.
Hanya saja, pada setengah perjalanan itu, sosok pers ditun-tut untuk melakukan redefinisi dan penyesuaian dengan perguliran sistem. Tidak ada lagi bargaining power, apalagi pemihakan kultural.
Trauma pembredelan seolah kembali menjadi sesuatu yang sangat menakutkan setelah SIT (Surat Izin Terbit) diperlakukan pula sebagai code of publication. SIT menjadi ‘kekuatan’ yang dianggap mampu membungkam kebebasan pers. Sementara pasal-pasal yang mengatur delik pers, seakan tidak punya arti apa-apa di ruang-ruang pengadilan.
Tetapi selang beberapa waktu kemudian, ketika Alvin Toffler memproklamirkan abad informasi dan komunikasi, perubahan terjadi lagi. Pers kembali dilirik. Tak cuma sampai di situ, pers juga sempat disanjung, dipuji, dikritik, dianalisis, bahkan diberi tempat khusus dalam kerangka rekayasa sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
Namun saat itu, banyak yang menilai sosok pers menjadi benar-benar unik menyusul diberlakukannya UU No 21 Tahun 1982, serta pengaturan tentang SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), di mana kalangan pers sempat terlena oleh iming-iming tentang peningkatan kesejahteraan wartawan.
Code of publication atau SIT yang dianggap mengekang kebebasan pers dihapus dan diganti dengan SIUPP (code of interprise). Yang kemudian pada gilirannya, pers ‘kawin’ dengan sosok konglomerasi yang lahir dari buaian liberalisasi mekanisme ekonomi nasional.
Sayangnya, lagi-lagi perkawinan itu terperangkap pada bayang-bayang represivitas kehidupan sosial politik yang konon penuh jebakan. Dengan kata lain, ketika itu jajaran pers dan kehidupan jurnalistik memang sempat tampil sebagai sosok yang punya kepuasan material, tapi juga sekaligus merupakan sosok yang resah dan gelisah.
Peristiwa-peristiwa trauma-tik kembali menghantui. Pembatalan SIUPP menjadi hal yang semakin menakutkan di-banding pengajuan seorang wartawan ke pengadilan kare-na melakukan delik pers seba-gaimana kasus Asa Bafaqih.
Modal besar di balik kegamangan idealisme saat itu, seolah telah menyeret pers Indonesia ke dalam kondisi psikologis yang stress berat. Tragisnya, muncul swasensor ala abad pertengahan dan eufemisme, serta trend jurnalisme metafora dan menjadi begitu mengental. Ada juga pelarian ke arah jurnalisme kuning sambil menjajakan dada, paha, dan darah.
Begitulah sekilas perkembangan yang dialami pers di Indonesia, hingga ketika BJ Habibie menjabat Presiden RI, kebebasan kembali direngkuh.
Saat ini, bukan hanya pembredelan yang tak dilakukan pemerintah, tetapi SIUPP yang sebelumnya menjadi ketentuan mutlak bagi sebuah penerbitan pers, juga ditiadakan, yang penting berbadan hukum.
Pertanyaannya sekarang, apakah masih relevan jika pers yang bebas harus tetap menginformasikan sesuatu dengan cara yang metaforik? Apakah pers harus berbuat seperti seorang pelukis yang sengaja merekayasa mata seorang raja yang juling dengan menambahkan kaca mata gelap agar kejulingan tidak terlalu nampak? Apakah model keterbukaan demikian yang dimaksud?
Pertanyaan di atas memang mengemuka akhir-akhir ini, mengingat kebebasan yang baru sekitar sepuluh tahun dinikmati jajaran pers Indonesia, kerap terusik oleh berbagai kasus.
Di antaranya, tindak keke-rasan, teror, dan lain-lain oleh oknum tertentu terhadap pers dan wartawan yang bukan ha-nya satu atau dua kali terjadi. Ini mengindikasikan masih adanya ‘kekuatan’ yang secara sistematis dikerahkan untuk menghalang-halangi proses kebebasan bagi pers tersebut.
Dipengadilankannya Bambang Harymurti, Pemim-pin Redaksui Koran Tempo, oleh konglomerat Tomy Winata atas tuduhan pencemaran nama baik, juga merupakan satu dari sekian persoalan yang melanda pers Indonesia belakangan ini.
Ironisnya, hampir semua persoalan berlatar belakang berita yang dianggap tidak benar, meski yang sesungguhnya wartawan juga memiliki data yang dilengkapi hasil re chek di lapangan. Hak jawab seakan tak diminati karena dianggap tidak sepadan dengan dampak dari yang telah diberitakan pers. ** (Gunt Sumedi adalah Pengurus PWI Sulsel)