Jumat, Februari 06, 2009

Surat Edaran MA Tentang UU Pers

Surat Edaran MA Tentang UU Pers

Oleh : Gunt Sumedi

Kontroversi penggunaan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers pada setiap terjadinya gugatan atau keberatan sebagai akibat pemberitaan pers, terjawab sudah. Itu setelah Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran yang disampaikan kepada para hakim se-Indonesia, agar para hakim tersebut senantiasa mengedepankan UU Pers dalam setiap penanganan kasus sengketa pers atau perkara jurnalistik.
Namun tentu saja setelah melalui penelitian apakah karena kekeliruan etik ataukah karena perbuatan melawan hukum. Ini merupakan kabar gembira dan langkah maju bagi dunia kewartawanan di Indonesia.
Setiap ada perkara terkait dengan pers, MA meminta pengadilan menghadirkan Dewan Pers sebagai saksi ahli. Aturan ini dituangkan dalam Surat Edaran MA No. 14 tanggal 30 Desember 2008.
Keberpihakan MA terhadap UU Pers tersebut memang telah dibuktikan saat MA memutus dengan mempertimbangkan UU Pers dalam kasus Bambang Harymurti (Pemred Koran Tempo) melawan Tomy Winata. Dalam pertimbangan putusan tersebut, dipertimbangkan bahwa unsur perbuatan melawan hukum pemberitaan Koran Tempo belum terpenuhi sebelum prosedur Hak Jawab dilakukan sebagaimana tercantum dalam UU Pers.
Surat Edaran MA menyebutkan bahwa dalam penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik pers, hendaknya majelis hakim mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, karena merekalah yang lebih mengetahui tentang seluk beluk pers secara teori dan praktek.

Ibarat Baju Tua

Berbicara tentang perkem-bangan Pers Indonesia, tidak sedikit yang mengibaratkan sebagai baju tua yang tambal sulam. Sebagai institusi yang diadaptasi dari tatanan budaya liberalisme-kolonialisme abad ke-18, pers di Indonesia pada mulanya muncul dan mencuat sebagai sosok partisan. Pers melahirkan patriotis, mujahid, pejuang, hero, dan para nasionalis.
Pers perjuangan adalah ciri dan citra bahkan obsesi para wartawan yang lahir pada era pra kemerdekaan. Bekerja sebagai wartawan menjadi pilihan terbaik para idealis. Sampai pada suatu ketika pers pertama kali menemukan sosoknya dalam suasana liberalisme di era 50-an, di mana kebebasan menjadi obsesi dan tujuan.
Sama seperti sekarang, saat itu istilah pembredelan dianggap tidak populer. Namun wartawan sempat mendapat pelajaran berharga ketika salah seorang wartawan senior, Asa Bafaqih, dipengadilankan karena suatu kasus delik pers.
Pada perkembangan selanjutnya, yakni sekitar tahun 60-an, ketika pers dan wartawan terjebak pada pergulatan politik yang sentralistis dan sistem pemerintahan yang semi diktator, obsesi kebebasan yang baru dimiliki ketika itu, terpaksa harus ditebus dengan pembredelan tanpa ada yang harus diuji kesalahannya di depan pengadilan, sebagaimana yang dialami Asa Bafaqih.
Namun seiring pergantian pemeran panggung kekuasaan berikutnya, obsesi pers pun bangkit kembali bersamaan mencuatnya peran dan dinamika kalangan intelektual. Bebas, kritis, sportif, dan bertanggung jawab menjadi citra baru.
Hanya saja, pada setengah perjalanan itu, sosok pers ditun-tut untuk melakukan redefinisi dan penyesuaian dengan perguliran sistem. Tidak ada lagi bargaining power, apalagi pemihakan kultural.
Trauma pembredelan seolah kembali menjadi sesuatu yang sangat menakutkan setelah SIT (Surat Izin Terbit) diperlakukan pula sebagai code of publication. SIT menjadi ‘kekuatan’ yang dianggap mampu membungkam kebebasan pers. Sementara pasal-pasal yang mengatur delik pers, seakan tidak punya arti apa-apa di ruang-ruang pengadilan.
Tetapi selang beberapa waktu kemudian, ketika Alvin Toffler memproklamirkan abad informasi dan komunikasi, perubahan terjadi lagi. Pers kembali dilirik. Tak cuma sampai di situ, pers juga sempat disanjung, dipuji, dikritik, dianalisis, bahkan diberi tempat khusus dalam kerangka rekayasa sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
Namun saat itu, banyak yang menilai sosok pers menjadi benar-benar unik menyusul diberlakukannya UU No 21 Tahun 1982, serta pengaturan tentang SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), di mana kalangan pers sempat terlena oleh iming-iming tentang peningkatan kesejahteraan wartawan.
Code of publication atau SIT yang dianggap mengekang kebebasan pers dihapus dan diganti dengan SIUPP (code of interprise). Yang kemudian pada gilirannya, pers ‘kawin’ dengan sosok konglomerasi yang lahir dari buaian liberalisasi mekanisme ekonomi nasional.
Sayangnya, lagi-lagi perkawinan itu terperangkap pada bayang-bayang represivitas kehidupan sosial politik yang konon penuh jebakan. Dengan kata lain, ketika itu jajaran pers dan kehidupan jurnalistik memang sempat tampil sebagai sosok yang punya kepuasan material, tapi juga sekaligus merupakan sosok yang resah dan gelisah.
Peristiwa-peristiwa trauma-tik kembali menghantui. Pembatalan SIUPP menjadi hal yang semakin menakutkan di-banding pengajuan seorang wartawan ke pengadilan kare-na melakukan delik pers seba-gaimana kasus Asa Bafaqih.
Modal besar di balik kegamangan idealisme saat itu, seolah telah menyeret pers Indonesia ke dalam kondisi psikologis yang stress berat. Tragisnya, muncul swasensor ala abad pertengahan dan eufemisme, serta trend jurnalisme metafora dan menjadi begitu mengental. Ada juga pelarian ke arah jurnalisme kuning sambil menjajakan dada, paha, dan darah.
Begitulah sekilas perkembangan yang dialami pers di Indonesia, hingga ketika BJ Habibie menjabat Presiden RI, kebebasan kembali direngkuh.
Saat ini, bukan hanya pembredelan yang tak dilakukan pemerintah, tetapi SIUPP yang sebelumnya menjadi ketentuan mutlak bagi sebuah penerbitan pers, juga ditiadakan, yang penting berbadan hukum.
Pertanyaannya sekarang, apakah masih relevan jika pers yang bebas harus tetap menginformasikan sesuatu dengan cara yang metaforik? Apakah pers harus berbuat seperti seorang pelukis yang sengaja merekayasa mata seorang raja yang juling dengan menambahkan kaca mata gelap agar kejulingan tidak terlalu nampak? Apakah model keterbukaan demikian yang dimaksud?
Pertanyaan di atas memang mengemuka akhir-akhir ini, mengingat kebebasan yang baru sekitar sepuluh tahun dinikmati jajaran pers Indonesia, kerap terusik oleh berbagai kasus.
Di antaranya, tindak keke-rasan, teror, dan lain-lain oleh oknum tertentu terhadap pers dan wartawan yang bukan ha-nya satu atau dua kali terjadi. Ini mengindikasikan masih adanya ‘kekuatan’ yang secara sistematis dikerahkan untuk menghalang-halangi proses kebebasan bagi pers tersebut.
Dipengadilankannya Bambang Harymurti, Pemim-pin Redaksui Koran Tempo, oleh konglomerat Tomy Winata atas tuduhan pencemaran nama baik, juga merupakan satu dari sekian persoalan yang melanda pers Indonesia belakangan ini.
Ironisnya, hampir semua persoalan berlatar belakang berita yang dianggap tidak benar, meski yang sesungguhnya wartawan juga memiliki data yang dilengkapi hasil re chek di lapangan. Hak jawab seakan tak diminati karena dianggap tidak sepadan dengan dampak dari yang telah diberitakan pers. ** (Gunt Sumedi adalah Pengurus PWI Sulsel)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar