Kiat Arifuddin Nurdin Memimpin PLN Sulselrabar
Terbitnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, kala itu sempat dianggap sebagai berakhirnya peran PT. PLN (Persero) sebagai satu-satunya perusahaan penyedia daya listrik secara nasional.
Dengan kata lain, Undang-Undang Ketenagalistrikan (UUK) tersebut membuka pintu seluas-luasnya kepada pihak swasta atau pemerintah daerah untuk ikut mengelola listrik.
Namun bagaimana realisasinya? Tampaknya tak semudah membalik telapak tangan. Bahkan lahirnya UUK itu sendiri sempat menimbulkan beragam kontroversi.
Mantan General Manager (GM) PT. PLN (Persero) Wilayah Sulselrabar Ir H Arifuddin Nurdin, kepada Koran PWI belum lama ini, mengatakan, setidaknya ada 13 perbedaan prinsip antara UU No 15 tahun 1985 dengan UU No 20 tahun 2002.
Di antaranya, dalam UU No 15/1985 disebutkan PLN adalah Pemegang Hak Tunggal Penyediaan Tenaga Listrik (PKUK / Pemegang Kuasa Usaha Kelistrikan) dan melaksanakan misi sosial.
Sementara dalam UU No 20/2002 disebutkan menjadi daya listrik disediakan oleh pihak yang memperoleh izin usaha, atau Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (PIUPTL).
Terbitnya UUK, kata Arifuddin Nurdin yang kini dialihtugaskan sebagai GM PLN di Provinsi Bali, memang membuat PLN berada pada posisi tidak lagi sebagai pemegang monopoli penyedia tenaga listrik secara nasional.
UUK membuka kesempatan terjadinya persaingan pada sisi hulu, yakni pembangunan mesin pembangkit, dan di sisi hilir adalah retail.
Yang masih dimonopoli PLN tinggal sisi transmisi dan distribusi. Persaingan ini diharapkan akan menghasilkan efisiensi penyediaan tenaga listrik secara nasional, karena kaidah bisnis pada setiap pelaku adalah setiap investasi harus menghasilkan kembali modal.
Persyaratan dalam berkompetisi itu, kata Arifuddin, ada 7 hal yang harus diperhatikan yaitu; 1. Tingkat harga jual tenaga listrik yang sesuai dengan nilai keekonomiannya, 2. Kompetisi pasokan energi primer 3. Pembentukan Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (BPPTL). 4. Kesiapan aturan yang diperlukan dalam penerapan kompetisi. 5. Kesiapan infrastruktur, perangkat keras dan perangkat lunak sistem tenaga listrik 6. Kondisi sistem yang memungkinkan untuk berkompetisi, dan, 7. Kesetaraan Badan Usaha yang akan berkompetisi.
Selama ini listrik merupakan salah satu infrastruktur perekonomian dan sekaligus bisa menjadi komoditi bisnis. Tanpa listrik, berbagai aktivitas akan ‘mati’. Sementara di lain pihak, keterbatasan pembangkitan dan ketidakmampuan PLN melakukan investasi, membuat perusahaan ini seolah semakin berada di persimpangan.
Upaya menjamin kelangsungan penyediaan listrik sulit dilakukan dengan kebijakan yang sentralistik, sehingga solusinya, Pemda perlu ikut memikirkan kelangsungan penyediaan tenaga listrik di daerah masing-masing. Untuk itu diperlukan iklim usaha yang kondusif agar tenaga listrik bisa menjadi penarik investasi di daerah.
Keikutsertaan dan dukungan Pemda itu meliputi pendanaan sebagai bantuan investasi, pentarifan dalam menentukan tarif lokal/regional kemudian penyediaan lahan dan perizinan.
Sedangkan masalah yang bakal timbul berkaitan dengan Otoda, yakni, national grid vs local grid, Tarif Dasar Listrik (TDL) vs Tarif Lokal, optimasi nasional vs optimasi lokal/regional. Juga soal perizinan, perpajakan dan retribusi, serta subsidi dan bantuan investasi.
Mengenai pelayanan pelanggan, Arifuddin Nurdin mengakui masalah yang sering dikeluhkan, antara lain pembacaan meter yang berakibat pada tagihan rekening, kecepatan pelayanan sambungan baru/penambahan daya, seringnya pemadaman, lamanya pemulihan gangguan, terjadi fluktuasi tegangan, fasilitas pelayanan dan sebagainya.
“Adanya keluhan mengindikasikan masih adanya gap antara kepuasan dengan harapan pelanggan. Padahal kewajiban PLN adalah meningkatkan pelayanan sebagai imbangan terhadap goodwill pelanggan yang membayar lebih mahal karena kenaikan TDL,” katanya.
PLN juga wajib mengumumkan setiap awal triwulan tentang indikator mutu pelayanan. Sebab apabila standar mutu yang berkaitan dengan lama gangguan dan atau jumlah gangguan serta kesalahan pembacaan meter melebihi 10% di atas nilai yang diumumkan, maka PLN diwajibkan memberikan pengurangan tagihan listrik kepada konsumen senilai 10% dari biaya beban.
Soal pernyataan auditor internasional Arthur Anderson beberapa waktu silam yang menyebut PLN tak efisien, menurut Arifuddin, Arthur boleh saja berkata seperti itu meski di lain pihak masih perlu dilakukan pendataan agar lebih jelas.
Dalam penilaian Arthur ketika itu, disebutkan bahwa dalam periode 1995-1998 telah terjadi in-efisiensi di tubuh PLN sebesar Rp 5,26 triliun/tahun. Tahun 1998 menjadi Rp 7 triliun.
Namun menurut mantan Ketua Tim EDP PT.PLN yang juga mantan GM PLN Sulselra Ir.Tunggono, dugaan in-efisiensi itu hanya 45% yang berada dalam kontrol PLN, sedangkan sisa 55 % lagi sama sekali berada di luar kontrol PLN.
Oleh karena itu, Tunggono menandaskan, melalui upaya restrukturisasi korporat, restrukturisasi keuangan, dan restrukturisasi TDL serta renegosiasi listrik swasta, in efesiensi uncontrolable tadi dapat diatasi.
Sementara in efisiensi uncontrolable akan ditangani dengan lebih baik, melalui Effisiency Drive Program di semua bidang melalui pendekatan grass root, tersistem dan berkesinambungan.
“Hasilnya akan dilaporkan secara rutin ke Departemen Keuangan,” ujar Tunggono.
Mengingatkan Insan PLN
Memang, apapun alasannya, temuan Athur Anderson tersebut telah mengingatkan segenap insan PLN bahwa kondisi itu tidak boleh lagi terjadi di masa depan.
Kini semangat efisiensi semakin menggelora di PLN. Setidaknya itulah yang tercermin dari Forum Efisiency Drive Program Regional Sumatera I yang berlangsung di Bukit Tinggi tanggal 24-25 Februari 2003 lalu.
Dari hasil forum itu juga, tak sedikit inovasi-inovasi efisiensi telah dilakukan unit-unit PLN, termasuk di Wilayah Sulselrabar. Di mana menurut Arifuddin Nurdin, selama empat tahun kepemimpinannya PLN wilayah ini telah berhasil menekan angka kerugian akibat pencurian listrik.
Cara yang dilakukan adalah dengan memasang ELCB (Earth Circuit Breaker) sebagai proteksi pencurian arus listrik yang menggunakan modus “Menonaktifkan penghantar netral PLN”, yang sering ditemukan. Selain itu, juga dilakukan upaya efisiensi melalui normalisasi sambungan rumah dan perubahan pola operasi JTM 20 kV.
Dengan melakukan inovasi ini, kata Arifuddin, beberapa cabang PLN berhasil memperbaiki losses teknis sisi tegangan rendah hingga di atas 2%. Sedangkan di sisi tegangan menengah dengan operasi loop tertutup dapat diper-baiki losses teknis hingga 1,8%.
Inovasi lain yang tak kalah menariknya, lanjut Arifuddin, adalah pemanfaatan tabung travo rusak 1 phase sebagai purifier yang dilakukan PLN di wilayah ini.
Pemanfaatan karya inovasi ini mampu menghasilkan saving Rp 66.5 juta untuk satu unit purifier baru mencapai Rp 75 juta. Sedangkan bila dibuat sendiri menggunakan tabung trafo rusak itu hanya membutuhkan biaya sekitar Rp 8.5 juta.
“Yang penting adalah bagaimana spirit efisiensi itu mampu mewarnai seluruh aktivitas kita di PLN,” papar Arifuddin seraya menyarankan bahwa agar PLN dapat lebih maju dan berkembang meski di tengah kondisi ekonomi yang memprihatinkan seperti sekarang, maka para pimpinan, manager senantiasa dapat melaksanakan ciri pembinaan yang meliputi; persuasif, kesabaran, kelembutan, kemampuan mengajar, pemahaman masalah, kepedulian (kebaikan), keterbukaan, mengakui kesalahan, konsisten dan integritas, sehingga karyawan dapat memiliki nilai-nilai transformasi yang biasa disingkat UBAH.
UBAH adalah singkatan dari usaha, belajar, andal, dan hebat.
Usaha yang gigih, yaitu usaha yang terus menerus untuk mencapai tujuan perusahaan. Belajar dengan tidak kenal lelah dan tidak mengenal istilah berhenti. Andal, dalam pengertian sikap pribadi yang ingin mentrasformasi dirinya menjadi lebih baik. Hebat dalam pengertian memiliki sikap untuk mengerjakan sesuatu yang lebih baik dari standard atau lebih dari sekedar menguasai pekerjaan (tugas) yang diberikan.
Kemudian yang tak kalah pentingnya, di perusahaan atau instansi mana pun, bahkan mungkin di PLN, isu ‘rebutan’ jabatan dengan istilah ‘tempat basah’ dan ‘tempat kering’ bukan sesuatu yang aneh.
Namun sepanjang hal itu dilakukan melalui persaingan sehat, tentu tidak ada masalah. Sebaliknya kalau persaingan itu dilakukan dengan ‘saling sikut’ dan menghalalkan segala cara, maka ini yang tidak boleh terjadi. Sebab pada gilirannya jabatan yang diraih itu bukan karena prestasi, melainkan karena ambisi.
Dan karena ambisi itulah, maka bukan mustahil seseorang bisa menyalahgunakan jabatannya, misalnya melakukan praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme dan lain-lain yang pada gilirannya dapat merugikan banyak pihak, termasuk perusahaan dan masyarakat. (Gunt Sumedi)
copyright@koranpwi, 9 Februari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar