Secangkir Teh Manis
Cerita Pendek Jurlan Em Saho’as
Balqis, masih duduk terpaku di bangku taman kota. Sebuah taman penuh bunga dan bu-rung- burung kecil hinggap di tanah mematuk serangga. Di sekeliling gelap mulai merapatkan tubuhnya. Angin berhembus malas. Selain Balqis tak ada lagi orang lain di sekitar.
Aku memang datang terlambat menjemputnya. Sudah kukatakan kepadanya, hari ini sungguh banyak tugas kantor yang harus kuselesaikan. Aku memang sudah sering-sering terlambat datang menjemput. Sudah tak terhitung lagi sejak tiga tahun lalu kami berdua sepakat untuk saling mencintai, menyatukan hati yang berbeda untuk saling berbagi dalam duka dan suka.
Aku memang beruntung mengenalnya, aku kagum lantaran kesabaran yang dimiliki. Dia sudah terbiasa diperlakukan begitu.
Pernah suatu waktu aku sengaja menguji kesabarannya. Aku sangat ingin melihat dia marah. Aku ingin melihat wajahnya memerah, atau setidaknya sorot matanya memperlihatkan pancaran penyesalan kepadaku. Aku sengaja membiarkan ia menunggu berjam-jam lamanya. Tapi masya Allah, justru dia tidak memperlihatkan reaksi yang membuatku ketakutan. Tak ada sedikit pun kekecewaan yang tergambar di wajahnya, malah dia hanya tersenyum ramah lalu mengajakku segera mengantarnya pulang.
Balqis sebetulnya bukanlah sosok yang asing bagiku. Kami ber-dua lahir di desa yang sama. Tahunnya juga sama, hanya beda bulan. Kami satu sekolah di SMA dahulu. Bedanya, dia di kelas IPS sedang aku di kelas bahasa. Rumahku dan rumahnya berhadapan. Jadi sabang hari pasti kulihat dia melintas di jalan depan rumah. Tapi sekalipun rumah kami begitu dekat, pergaulan kami berjalan apa adanya. Layaknya orang bertetangga, saling menyapa dan saling menolong bila ditimpa kesusahan.
Setamat SMA kami sama-sama disekolahkan ke kota. Sejak itulah kami tidak pernah bertemu. Kami memang tidak pernah menjalin komunikasi. Apalagi kami tidak masuk diperguruan tinggi yang sama. Balqis kuliah di ibukota kabupaten sedang aku kuliah di ibukota provinsi.
* * * * *
Balqis tumbuh menjadi gadis berani dan cerdas. Begitulah kesan pertama ketika suatu hari aku menyaksikan tampil di mimbar sebagai ketua panitia maulidan di masjid. Dia tak canggung berbicara di depan orang banyak, di depan para tokoh masyarakat, pemuka agama, Pak Camat, Pak Lurah dan yang terpenting lagi di depan orang tuanya sendiri dan guru yang mengajar kami di SMA dahulu.
Suatu tugas berat yang biasanya tak semua orang mampu melakukan bila dilakukan di hadapan orang tua yang melahirkan dan guru yang mengajarkan ilmunya di bangku sekolah.
Aku masih ingat ucapannya sesaat sebelum meninggalkan desa. Waktu itu aku sempat menanyakan cita-citanya kelak. Cita-citanya memang tinggi, ia ingin melanjutkan kuliah di kota kabupaten, lalu bekerja dan memiliki usaha sendiri. Dia tak berpikir kuliah ke Makassar. Dia berpikir kuliah di kota kabupaten tidak perlu canggung. Kecerdasan seseorang tidak ditentukan oleh di kota mana dia me-nuntut ilmu, kecerdasan seseorang tidak ditentukan oleh mahal tidaknya biaya kuliah. Tapi, kecerdasan dan prestasi sangat ditentukan oleh seberapa jauh motivasi yang kita miliki, seberapa jauh ketekunan dan kesungguhan yang kita miliki.
Seusai acara maulidan aku berupaya mendekati Balqis. Tentu saja aku tidak begitu percaya diri mendekatinya. Aku takut menjadi pusat perhatian anak-anak muda lainnya. Cepat-cepat aku beranjak dari tempat dudukku ketika kulihat Balqis sudah akan pulang. Dua batang telur hias di tangannya. Sesekali dia tersenyum kepada setiap orang yang menyalaminya. Tak terasa aku sudah berada di sisi kirinya ketika Balqis sudah tiba di pintu masjid.
“Balqis..., selamat ! Mantap pidato sambutanmu tadi,” ucapku sedikit grogi sembari menyodorkan tanganku. Bersalaman.
Balqis tidak langsung membalas sanjunganku. Dia hanya tersenyum. Wajahnya makin berwibawa.
“Bagaimana kuliahmu Teguh? Kapan diwisuda?” Balqis balik bertanya.
“Masih lama, masih ada dua semester,” jawabku singkat.
“Kabarnya kamu kuliah sembari kerja, kamu sibuk sekali yah ?” Balqis balik bertanya.
Pertanyaan Balqis itu membuatku makin percaya diri. Aku merasa tersanjung dengan ucapannya barusan. Setidaknya secara tidak langsung Balqis mengetahui kalau aku terlambat meraih sarjana karena ada kesibukan lain.
Aku tidak seperti anak muda lainnya di desaku yang kebanyakan terlambat selesai dengan alasan yang bermacam-macam. Ada yang beralasan sebagai aktifis kampus, demonstran, ada pula yang aktif di LSM-LSM. Mereka beranggapan, sebagai aktifis sah-sah saja terlambat selesai.
Mereka mengekspresikan demo di jalan, di gedung wakil rakyat dan di kantor-kantor pemerintahan merupakan bagian dari kepedulian terhadap rakyat yang tertindas, termasuk belajar berdemokrasi, kendatipun terka-dang mereka sendiri memaksakan kehendaknya, memaki tanpa mempedulikan perasaan orang yang dihujat.
Padahal, mereka memahami bahwa demokrasi itu adalah saling menghargai, setiap orang memiliki hak untuk berbicara, didengar dan mendengar. Demokrasi tidak mengajarkan amarah. Tapi sebaliknya, mengajak orang berlaku arif, bijaksana dan saling memahami.
Tidak terlalu banyak yang kami bicarakan berdua malam itu. Hanya saja kekagumanku di saat menyaksikan Balqis di atas mimbar makin bertambah tatkala dia menyampaikan kalau minggu depan dia bakal ke Makassar.
Dia baru saja mendapat surat panggilan kerja dari sebuah perusahaan ekspedisi. Kami berdua berpisah begitu langkah kami tiba di halaman masjid.
* * * * *
Sejak pertemuan malam itu pada acara maulidan komunikasi kami berdua tidak terputus. Aku sudah men-save nomor hpnya. Begitu pula sebaliknya. Balqis malah lebih menghapal nomorku dibanding aku yang memang tidak pernah men-save di otakku nomor-nomor dari kawan-kawan dekat sekalipun, selain nomor pimpinan dan beberapa teman kantor yang terkait langsung dengan bidang tugasku. Aku kerja di sebuah perusahaan periklanan.
Suatu hari di anjungan Pantai Losari, saat matahari menjelang terbenam, kami berdua duduk menikmati “pisang epeq” sembari menghadap ke laut lepas.
Di sinilah kisah kami bermula. Aku yang dulunya merasa seorang diri kini ada teman bertukar pikiran, berdialog dan berbagi rasa. Ketika si bola cahaya merapatkan dirinya di peraduan, mengikhlaskan diri terbenam ke dalam perut laut, saat itu lazuardi memancarkan keindahannya dengan warna merah saga yang berhamburan seperti lukisan seorang seniman di atas kanvas.
Aku sengaja mencuri pandang, menatap wajah Balqis yang tengah serius menikmati pemandangan alam yang baru kali ini dinikmatinya.
Aku sungguh mengaguminya. Manis sebetulnya rupa wajah gadis di sampingku ini. Kulitnya putih terawat. Matanya yang cantik dihiasi alis hitam tebal. Balqis tumbuh se-bagaimana gadis dewasa yang cer-das yang memiliki cita-cita setinggi bintang di langit. Berkedip tapi tak pernah berhenti bersinar.
Aku pengagum sosok wanita yang berjiwa seperti baja, cerdas dan selalu bergairah untuk maju. Sosok itu terdapat dalam diri gadis yang ada di dekatku kini. Namun aku memiliki sifat yang tak pernah terdeteksi oleh siapapun.
Aku suka menguji kebesaran jiwa seseorang dan kemanpuannya dalam mengambil sebuah keputusan. Aku sangat senang menyaksikan sikaf dan laku seseorang ketika berhadapan dengan persoalan yang sungguh sangat tidak disukainya. Balqis pun tidak lepas dari eksperimenku.
* * * * *
Balqis masih duduk di bangku taman kota. Burung-burung kecil satu per satu meninggalkan tanah tempat mematok serangga Senja sebentar lagi beralih malam. Aku betul-betul terlambat. Ini kali aku tidak sengaja melakukan. Aku menyesal. Mudah-mudahan saja Balqis tidak menilaiku mengujinya. Aku meminta ma’af.
“Ma’afkan aku. Aku betul-betul tidak sengaja. Pimpinan tiba-tiba meeting dengan semua staf. Semua bidang diminta melaporkan hasil kerjanya,” ucapku seketika berdiri di hadapan Balqis.
Dia tidak langsung membalas ucapanku. Dia hanya menatapku perlahan sembari tersenyum. Tak ada sesal dan jengkel yang memancar dari wajahnya.
“Aku tidak bisa membedakan an-tara sengaja dan tak sengaja. Aku hanya berpikir, apakah keadaan ini akan berlanjut hingga rumah tangga kita bangun,” jawab Balqis sembari bangkit dari tempat duduknya.
“Aku pikir tidak.”
“Apakah kanda percaya dengan pribahasa, lele bulu tellele abiasang. Gunung bisa saja berpindah tapi kebiasaan susah diubah.”
“Karenanya, kebiasaan harus diubah dengan kebiasaan pula.”
Kami diam berdua. Tak ada yang melanjutkan pembicaraan. Kami melangkah meninggalkan taman kota. Hari sudah makin gelap.
Seperti biasa, jika aku diminta menjemput kami tidak langsung pulang ke rumah, kami selalu mampir menikmati pisang epe di anjungan Pantai Losari. Jika malam-malam begini berada disana kami tentunya menikmati geliat ombak yang saling berkejaran ke pantai. Geliat ombak dan gemuruh laut sungguh memberi kesan tersendiri bagi setiap orang yang menikmatinya.
Suasana indah itu makin menyentuh ketika panda-ngan mengarah ke laut lepas. Perahu nelayan dan kapal-kapal barang menjadi pemandangan yang mengasyikkan.
“Teguh, aku sangat menyukai namamu. Aku bangga menjadi kekasih seorang yang mampu hidup mandiri di kota dan tak lupa membalas budi orang tuanya, sekalipun kutahu sampai matipun kita tidak mampu membayar setetes air susu ibu.”
Balqis tetap menatap wajahku tanpa berkedip. Aku diam saja. Aku masih menunggu kelanjutan kata-katanya.
“Aku ingin mengatakan sesuatu, sekalipun mungkin pahit terasa, sepahit buah bagore atau kayu sanrego, boleh kan?”
Aku tidak langsung memberi jawaban. Aku seperti terkena setrum 5.000 watt. Tapi sebagai lelaki, aku bersikap tenang dan tidak memperlihatkan rasa kaget sedikitpun, sekalipun ombak sudah menggeliat dahsyat di dadaku dan di telingaku seperti baru saja ada kereta api yang berlalu.
Balqis mengalihkan pandangannya ke laut. Dia tidak mampu menatap mataku. Dia tahu kalau aku berpikir keras.
“Gemuruh laut, geliat ombak, kedipan lampu perahu nelayan di kejauhan merupakan sebuah kenangan yang tak bisa terlupakan. Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Aku diperhadapkan dua pilihan. Pagi tadi ayah menelponku mengajak pulang, aku dilamar seorang pengusaha tetangga desa.”
Ucapan Balqis itu hampir saja membuatku lumpuh. Dadaku tidak saja terasa sesak, seperti habis minum air tiga ceregen, tapi ombak itu betul-betul terasa menggeliat dan menghempas jiwaku. Mataku sedikit lagi berkaca-kaca, tapi aku masih mengingat nasehat ibuku, anak lelaki tidak baik meneteskan air mata. Aku masih berusaha memberi jawaban tapi mulutku terasa kaku. Aku menyadari, kalau selama ini aku yang suka menguji wanita yang kukagumi, kini giliranku yang diuji.
“Dindaku, apa yang engkau sampaikan memang ujian bagi jiwaku. Tapi ketahuilah, bahwa hal itu juga ujian bagi dirimu. Berbuatlah kebajikan sekalipun sekali saja.”
Balqis balik menatap wajahku. Ini kali dengan tatapan kagum.
Malam makin larut. Kami beranjak pulang. Semakin jauh kami melangkah hingga gemuruh laut tidak kedengaran lagi.
Matahari hari belum sedepah. Aku dibangunkan oleh nada SMS dari Hpku. Aku memang tertidur di atas sajadah seusai solat Subuh tadi. Rupanya Balqis mengirimkanku pesan singkat.
“Assalamu alaikum Kanda. Maafkan adinda, semalam aku hanya mengujimu.”
Subhanallah ! Ibarat secangkir teh manis di pagi hari.
Makassar, 27 Januari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar