Fatwa MUI Tentang Pemilu Munculkan Kontroversi
Majelis Ulama Indonesia pada 31 Januari 2009, mengeluarkan fatwa tentang Pemilu. Media memberitakan bahwa MUI mengharamkan Golput. Reaksi pun bermunculan. Ada yang pro dan ada yang kontra.
Benarkah MUI mengharamkan Golput?
Dalam Diktum Diktum Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Tentang Pemilu, tanggal: 31 Januari 2009, MUI mengatakan, fatwa tersebut disepakati setelah melalui perbincangan hampir sehari penuh dalam rapat Komisi Masail Asasiyah Wathaniyah (Masalah Strategis Kebangsaan), kemudian dikerucutkan dalam Tim Perumus dan diajukan ke sidang pleno Ijtima Ulama.
Diktum keputusannya menyebutkan bahwa (1) Pemilihan Umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
MUI juga menyatakan bahwa (2) memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama. Selain itu dikatakan bahwa (3) imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.
Point keempat diktum menyatakan bahwa memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
Dalam poin kelima yang merupakan point terakhir, MUI menegaskan bahwa memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat, hukumnya adalah haram.
Seperti diketahui fatwa ini dibuat dalam Musyawarah Ijtima Fatwa Ulama Indonesia 24-25 Januari di Padangpanjang, Sumatera Barat.
Fatwa ini kata salah satu Ketua Majelis Ulama Indonesia, Cholil Ridwan dibuat untuk Golongan Putih atau tak memilih dalam Pemilu, lebih kepada penekanan bahwa memilih wajib hukumnya jika ada pemimpin yang memenuhi kriteria dalam Islam. Bukan kepada fatwa mengharamkan golput. Artinya MUI memfatwakan wajib hukumnya bagi warga untuk memilih pemimpin yang baik, yang memenuhi kriteria Islam.
“Jika kemudian ada pemimpin yang baik tetapi tidak dipilih hukumnya menjadi haram,” kata Chalil.
Dia menjelaskan, pemimpin yang baik dalam Islam adalah pemimpin yang amanah (bisa dipercaya), mumpuni, bertanggung jawab, saleh dan benar-benar memenuhi kriteria sebagai pemimpin Islam.
KPU Sambut Baik
Berbeda dengan sejumlah ahli dan pengamat yang memandang pesimis fatwa MUI terkait keberadaan golongan putih (golput) bagi umat Islam, Komisi Pemilihan Umum (KPU) justru menyambut baik dan memberikan apresiasi. Sebab fatwa ini memberikan angin segar dan turut mendorong suksesnya Pemilu 2009.
“Kita memberikan apresiasi terkait dengan fatwa MUI. Sebab semua itu justru bertujuan untuk menyukseskan Pemilu,” kata anggota KPU, Abdul Aziz, kepada Persda Network Jakarta.
Fatwa MUI bukan memaksa warga untuk memilih, tetapi lebih kepada menggugah warga Indonesia yang mayoritas Islam untuk memberikan hak pilihnya dalam Pemilu 2009.
“Sekali lagi kita menyambut baik, sebab fatwa itu sebetulnya untuk menggugah rasa tanggung masyarakat untuk memilih pemimpin yang dianggap pas dan meningkat partisipasi masyarakat dalam Pemilu 2009,” kata Abdul Aziz.
Dia mengatakan, KPU tidak dapat memberikan penilaian, sebab permasalahan itu dikembalikan kepada orang-orang yang ahli agama dan biarlah warga yang mencerna dan memahami isi fatwa MUI.
Tetapi sebagai lembaga yang sedang berjibaku untuk menyukseskan Pemilu, Aziz menganggap fatwa MUI turut menyukses Pemilu.
“Biar saja ahlinya yang memberikan menilai bukan KPU. Tetapi semuanya dikembalikan kepada warga untuk mencerna dan memahaminya. Pada intinya kita menyambut baik,” kata Abdul Aziz. (win/int)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar