Jumat, Februari 06, 2009

Surat Edaran MA, Darah Segar Penanganan Delik Pers

Kita semua maklum bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam pasal 28 Undang-undang Dasar 1945, harus dijamin.


Surat Edaran MA, Darah Segar Penanganan Delik Pers

Oleh: Kana’an Effendy

Kita semua maklum bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam pasal 28 Undang-undang Dasar 1945, harus dijamin.

Selanjutnya, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak azasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Demikian juga pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi dan pembentuk opini, harus dapat melaksanakan azas, fungsi, hak, kewajiban dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun.

Undang-undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers, pasal 15 ayat (1) menyatakan; “Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk dewan pers yang independen. Tujuan dibentuknya dewan pers adalah untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas, serta kuantitas pers nasional.”

Pasal 15 ayat (2) menyatakan bahwa Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi antara lain memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian, pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

Pertimbangan atas pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf d, adalah yang berkaitan dengan hak jawab, hak koreksi, dan dugaan pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik.

Keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, hal yang sangat penting, agar para hakim mendapatkan gambaran obyektif tentang ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang pers.

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), tanggal 30 Desember 2008, perlu kita sambut dengan mengucapkan syukur, karena dalam SEMA tersebut para hakim diminta setiap kali akan memutuskan kasus yang menyangkut delik pers, perlu mengundang saksi ahli dari Dewan Pers, karena Dewan Pers-lah yang paling tahu seluk beluk pers, baik dari segi teori maupun praktik.

SEMA tersebut merupakan hadiah spesial dari Mahkamah Agung untuk seluruh wartawan Indonesia, mengingat selama ini para hakim di daerah dalam memutus suatu kasus yang menyangkut delik pers, tidak menggunakan undang-undang pers.

Walau sebenarnya dalam menangani delik pers, Mahkamah Agung sudah mengedepankan mekanisme penggunaan hak jawab, sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Pers. Akan tetapi Mahkamah Agung tidak bisa langsung memerintahkan para hakim di daerah menggunakan undang-undang pers, hal itu mengingat setiap hakim mempunyai kebebasan dan independensi.

Mahkamah Agung sebatas memberi contoh-contoh kepada para hakim melalui putusan-putusan pada tingkat kasasi. Contoh yang bisa dilihat dalam dua putusan Mahkamah Agung atas gugatan perdata yang diajukan pengusaha Tomy Winata terhadap Majalah Tempo dan Koran Tempo.

Dalam kedua kasus tersebut, Hakim Pengadilan Negeri yang menangani kasus tersebut, memutuskan Tempo kalah, namun Mahkamah Agung kemudian mengukuhkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, yang memenangkan Majalah Tempo, yang salah satu pertimbangan Mahkamah Agung, dalam mengadili perkara tersebut, bahwa Hakim Pengadilan Negeri tidak menggunakan undang-undang N0. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Menanggapi Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut, penulis berpendapat kiranya tidak sekadar dijadikan rujukan oleh hakim-hakim di seluruh nusantara, akan tetapi para hakim hendaknya bertekad lebih dari itu.
Para hakim hendaknya menggunakan surat edaran tersebut dalam penyelesaian delik pers, dengan segera proaktif mengambil langkah positif menggunakan saksi ahli dari Dewan Pers, dalam menyelesaikan perkara dalam ranah delik pers

SEMA tersebut merupakan sebuah terobosan yang sangat mendasar bagi kepentingan pers nasioanal. Selain itu, menurut penulis, dengan memanfaatkan saksi ahli dari Dewan Pers, para hakim di tingkat pengadilan pertama dapat mengubah perilaku dengan mulai sekarang memutuskan delik pers bisa lebih adil sebagaimana telah termuat dalam Undang-undang Pers.

Penulis juga berpendapat sudah saatnya Undang-undang No. 40 tahun 1999, tentang pers segera direvisi guna lebih efektif melindungi pers dan kepentingan masyarakat.

Hal ini perlu dilakukan, penulis menilai bahwa undang-undang No. 40 tahun 1999 tersebut belum mengatur secara rinci tentang bagaimana mekanisme penyelesaian perkara, serta sanksi yang menyangkut pidana.

Agar semua komponen masyarakat mengetahui isi SEMA tersebut, penulis berpendapat kiranya para ketua Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia mensosialisasikannya, agar baik masyarakat maupun para hakim khususnya dapat mengetahui bahwa saksi ahli dari Dewan Pers sangat dibutuhkan.

Perlu ada itikad baik dari para hakim untuk mengimplementasikan SEMA tersebut, karena selama ini hampir seluruh kasus yang menyangkut delik pers diputus atau divonis tanpa mendengarkan keterangan saksi ahli dari Dewan Pers.

Akan lebih baik lagi bila kekuatan hukum dari Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut, ditingkatkan dalam bentuk dapat mengikat para hakim dalam melaksanakan perintah atasannya dalam hal ini Mahkamah Agung, sehingga terwujud peran Dewan Pers sebagaimana amanat Undang-undang No. 40 tahun 1999, khususnya Pasal 15 yang menyangkut Dewan Pers dalam wujud dibutuhkannya saksi ahli dari Dewan Pers.

Penulis mengingatkan bahwa dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana termuat di dalam pasal 8 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Artinya, dengan perlindungan hukum, hal ini merupakan jaminan perlindungan dari pemerintah dan atau masyarakat kepada seluruh wartawan di Indonesia dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, maupun peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hal ini bisa diwujudkan apabila dalam suatu delik pers, para hakim yang berada di jajaran pengadilan tingkat pertama, selalu secara tulus melaksanakan edaran atasannya, dalam hal ini Mahkamah Agung, yang mengamanatkan agar unsur Dewan Pers hendaknya selalu dijadikan saksi ahli.

Sebagaimana kejadian akhir-akhir ini, setiap terjadi delik, para hakim yang menangani kasus-kasus, selalu mengabaikan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers
Itu sebenarnya dapat dimaklumi karena kesalahan dari Undang-Undang itu sendiri yang tidak menegaskan bahwa dalam penanganan delik pers, semestinya hakim berpedoman pada UU N0 40 Tahun 1999, namun karena hakim itu yang berada pada tingkat pertama sudah memiliki aturan main, yaitu adanya independensi, sementara di dalam Undang-Undang Pers tersebut tidak ada semacam lex spesialis.

Kesimpulannya, penulis berpendapat terhadap UU Pers perlu dilakukan revisi, sehingga memenuhi hajat masyarakat pers, atau dengan kata lain, para hakim selain berpedoman pada perundangan-undangan berupa KUHP, juga harus melihat UU No. 40 tentang Pers.** (Kana’an Effendy adalah wartawan SKU Perintis Nusantara dan kandidat doktor Ilmu Hukum PPs Unhas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar