Jumat, Februari 06, 2009

Wartawan Instan


SELAMAT TINGGAL. Julukan “kuli tinta” bagi wartawan mungkin tidak tepat lagi. Teknologi informasi dan komunikasi yang serba canggih telah mengubah cara kerja wartawan seratus delapan puluh derajat. Pers memang kini telah memasuki era industrialisasi. Maka selamat tinggal "pers perjuangan." (Foto: http://www.nyunyu.com)




-------------



Wartawan Instan


Oleh: A. Syahrir Makkuradde


Julukan “kuli tinta” bagi wartawan mungkin tidak tepat lagi. Teknologi informasi dan komunikasi yang serba canggih telah mengubah cara kerja wartawan seratus delapan puluh derajat. Pers memang kini telah memasuki era industrialisasi. Maka selamat tinggal "pers perjuangan."

Tempo dulu wartawan ti-dak hanya bekerja di meja redaksi, melainkan juga terjun langsung ke percetakan. Setiap hari reporter dengan bangga menyandang tustel naik sepeda sepanjang jalan memburu berita. Pena mereka senantiasa siap mencatat dan menulis naskah berita.

Di kantor, redaktur sibuk dengan mesin ketik mengedit berita. Ketika naskah berita sampai ke percetakan, wartawan sibuk mengatur regel yang terbuat dari timah dan membetulkan letak klise foto. Maklum percetakan masih menggunakan mesin ‘cetak tinggi’ bahkan ada yang masih manual disebut hand zet.

Bila waktu makan telah tiba, karena perut telah lapar, maka tak peduli lagi meskipun tangan masih blepotan tinta, langsung menyantap jatah nasi bungkus.

Kini cara kerja bahkan kehidupan wartawan telah berubah. Pada era yang serba ‘instan’ ini, segala sesuatu bisa didapat dengan gampang dan cepat, terutama informasi baik melalui media cetak maupun elektronik.

Berkat teknologi canggih, dunia pers mengalami kemajuan pesat. Informasi dapat diakses kapan dan dimana saja. Maka wartawan ikut menjadi instan. Tak perlu meninggalkan kantor jauh-jauh menguber sumber berita.
Wawancara dengan sumber berita bisa dilakukan lewat handphone, bagi wartawan yang semakin sejahtera kehidupannya handphone memang bukan lagi barang yang mahal.

Hasil wawancara yang kurang lengkap dan tidak jelas, itu urusan belakangan. Wartawan bisa melengkapi dengan imajinasi atau opini sendiri. Tak heran bila kemudian sumber berita mengajukan keberatan, karena merasa tidak pernah mengatakan seperti yang diberitakan. Bahkan tidak jarang sumber berita merasa tidak pernah diwawancarai oleh wartawan yang bersangkutan. Di sinilah bermulah timbulnya kasus wawancara fiktif.

Motivasi menjadi wartawan juga telah bergeser. Dulu seseorang menjadi wartawan, karena panggilan jiwa sehingga kecintaan terhadap profesi sangat kental dengan idealisme yang tinggi.

Wartawan menekuni profesinya dan menghasilkan karya jurnalistik terbaik. Kewartawanan memang sebuah profesi, mata pencaharian atau lapangan pekerjaan. Wartawan bekerja dan mendapatkan imbalan berupa gaji, akan tetapi wartawan berkarya bukan semata-mata karena digaji. Melainkan untuk mengejar prestasi dan kemudian meraih prestise.

Kewartawanan menjadi sebuah kebanggaan. Maka calon wartawan bisa betah menjalani proses magang kepada wartawan senior sampai bertahun-tahun, suatu hal yang tidak dijumpai lagi saat ini, karena sistem rekrutmen wartawan telah berubah.

Seseorang dapat dengan mudah memperoleh ‘kartu pers’ dan lahirlah kemudian ‘wartawan instan’. Tampaknya sekarang kewartawanan bukan lagi sebuah kebanggaan profesi. Wartawan mencari dan menulis berita, tidak lagi didorong oleh keinginan membuat karya jurnalistik terbaik untuk menjadi kebanggaan, melainkan sebagai pekerja yang mendapatkan gaji.

Idealisme wartawan se-makin redup. Pemberitaan yang mengedepankan unsur ‘demi ke-pentingan umum’ kini diabaikan. Berita tentang pentingnya pemba-ngunan sebuah jembatan di suatu daerah tergeser oleh berita marak-nya tawuran dan unjuk rasa maha-siswa, bentrokan mahasiswa dan polisi, konflik pemilu, selingkuh para selebriti, serta pemerkosaan.

Begitu pula foto jalan yang rusak, selokan tersumbat atau sampah bertumpuk tergeser oleh foto pertemuan para pejabat selebriti atau pengusaha. Pokoknya unsur pentingnya sebuah kejadian dianggap tidak menjadi penting sehingga unsur menariknya yang lebih ditonjol-kan, karena berita dipandang sebagai sebuah komoditi.

Persaingan antarmedia sekarang ini memang semakin ketat, sehingga berita bernilai komersil harus lebih diutamakan.

Pada era pers industri, terutama media cetak cenderung menjadi ‘koran oplah’. Media seakan berlomba memperbanyak oplah dan menambah halaman untuk menjaring iklan sebanyak-banyaknya.

Kini ‘koran berpengaruh’ semakin langkah. Padahal dulu pada masa ‘pers perjuangan’, meskipun beroplah kecil, namun beberapa media tampil sebagai koran berpengaruh. Misalnya Harian Pedoman yang dipimpin oleh H. Rosihan Anwar, Indonesia Raya yang dipimpin oleh Muchtar Lubis, Harian Kami yang dipimpin oleh Dr. Nono Anwar Makarim, dan Mingguan Kami yang dipimpin oleh H.M. Alwi Hamu.

Sayang usia koran-koran tersebut tidak panjang. Semuanya berakhir ketika pemerintah melakukan pembreidelan pascaperistiwa Malari (malapetaka lima belas Januari) 1974.

Sistem kebebasan pers yang dibangun oleh Orde Baru menyusul diberlakukannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 1966, tentang ketentuan pokok pers pada pascaperistiwa Malari dirumuskan menjadi ‘pers bebas dan bertanggungjawab’.

Sejalan kebijakan peme-rintah menerapkan sistem ‘Pers Pembangunan’, Menteri Penera-ngan waktu itu menerbitkan regu-lasi yang mengharuskan penerbit memiliki SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) yang diatur da-lam UU No. 21 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pers sebagai pengganti SIT (Surat Izin Terbit) yang diatur dalam Undang-undang No 18 tahun 1966.

Ketika itu, perusahaan pers diwajibkan mempunyai ‘bank garansi’ dengan menyetor sejum-lah dana di bank, namun karena merasa tak sanggup, beberapa penerbit mengembalikan SIT-nya ke Departemen Penerangan. Disinilah berawal sejarah ‘pers industri’, antara lain mingguan Bawakaraeng yang dipimpin oleh Ramiz Parenrengi.**

(Syahrir Makkuradde adalah Wakil Ketua PWI Sulsel Bidang Pembelaan Wartawan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar